Tuesday, October 2, 2018

GUNUNG DERMAWUHARJO DI DESA DERMAWUHARJO KECAMATAN GRABAGAN KABUPATEN TUBAN SEBAGAI BENTUK MITOS MASYARAKAT SEKITAR (KAJIAN ANTROPOLOGI SASTRA)


GUNUNG DERMAWUHARJO DI DESA DERMAWUHARJO KECAMATAN GRABAGAN KABUPATEN TUBAN SEBAGAI BENTUK MITOS MASYARAKAT SEKITAR

 (KAJIAN ANTROPOLOGI SASTRA)



Kiki Astrea, M.Pd.

Universitas Islam Darul Ulum

astreakiki22@gmail.com. 082231414417



Abstrak: Hubungan antropologi sastra dengan kebudayaan sama seperti sastra dengan budaya. Karya sastra selalu berhubungan dengan budaya. Setiap karya sastra selalu mengangkat budaya sebagai fokus dalam cerita, baik dalam cerpen, novel, drama yang terjadi pada zaman dulu maupun sekarang. Mitos Gunung Dermawuharjo merupakan sastra lisan yang dilestarikan oleh warga desa Dermawuharjo. Objek penelitian ini adalah mitos Gunung Dermawuharjo di desa Dermawuharjo kecamatan Grabagan kabupaten Tuban sebagai nilai budaya mayarakat sekitar. Objek penelitian didapat dari wawancara langsung dengan informan dilapangan. Kemudian dilakukan penentuan setting penelitian, menentukan informan, melakukan penerjemahan data, dan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif dan analisis isi untuk mengetahui bagaimana struktur Legenda Gunung Dermawuharjo. Bagaimana mitos legenda serta bagaimana nilai budaya Gunung Dermawuharjo. Gunung Dermawuharjo mempunyai keistimewaan berupa kolam belerang yang digunakan untuk mengobati penyakit kulit. Alasan lain yang dilakukan warga di gunung Dermawuharjo, yaitu meminta pesugihan dan mencuci keris di malam satu suro.



Kata kunci:Mitos, Gunung Dermawuharjo, Tuban.

Abstract:The relationship of literary anthropology with culture is the same as literature with culture. Literary works are always related to culture. Every literary work has always lifted the culture as the focus of the story, both in short stories, novels, plays that occurred in the past and now. The myth of Mount Dermawuharjo is an oral literature preserved by the villagers of Dermawuharjo. The object of this research is the myth of Dermawuharjo mountain in Dermawuharjo village, Grabagan sub-district of Tuban district as the cultural value of the surrounding community. Object research obtained from direct interviews with informants in the field. Then do the determination of research settings, determine informants, do data translation, and analyzed by using descriptive qualitative methods and content analysis to find out how the structure of the Legend of Mount Dermawuharjo. How the myth of legend and how the cultural value of Mount Dermawuharjo. Mount Dermawuharjo has the privilege of a sulfur pool that is used to treat skin diseases. Another reason people do in Mount Dermawuharjo, which is asking pesugihan and washing keris on the night one suro.



Keywords: Mythe, Dermawuharjomountain, Tuban

PENDAHULUAN

Kebudayaan menjadi hal yang menarik dalam karya sastra karena nilai keindahannya. Menurut (Koentjoroningrat, 2006: 146) kebudayaan adalah bentuk jamak dari kata budhi yang berarti akal. Sehingga kebudayaan dapat diartikan sebagai suatu hal yang dihasilkan dari akal. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan sastra Indonesia. Hampir seluruh sastra yang popular berisi kebudayaan Indonesia, maupun perbandiangan antara kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan asing.

Kebudayaan Indonesia, khususnya kebudayaan Jawa sangat menarik untuk dilakukan penelitian berdasarkan antropologi sastra. Kebudayaan Jawa sedikit banyak tidak ditinggalkan oleh masyarakat, sehingga perkembangannya sangat menarik untuk dilakukan sebuah penelitian. Antropologi sastra merupakan ilmu yang  mempelajari manusia yang dipandang sebagai manusia sastra. Dalam hal ini manusia dianggap sebagai antropologi kultural, karena dapat menghasilkan karya, bahasa, religi, adat-istiadat, hukum, mitos, seni dalam karya sastra.

            Hubungan antropologi sastra dengan kebudayaan sama seperti sastra dengan budaya. Karya sastra selalu berhubungan dengan budaya. Setiap karya sastra selalu mengangkat budaya sebagai fokus dalam cerita, baik dalam cerpen, novel, drama yang terjadi pada zaman dulu maupun sekarang.

Penelitian menggunakan kajian antropologi sastra pernah dilakukan oleh Charis Rachmawati. 2008. Dengan judul  Mitos dan enkulturasi dalam novel Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan pendekatan antropologi sastra. Universitas Semarang. Penelitian ini mengkaji makna ceritera dari kombinasi dan analisis miteme, hasil penelaah masyarakat terhadap mitos. Berbeda dengan penelitian tersebut.

            Dengan demikian penelitian ini memiliki tiga rumusan masalah: 1) bagaimana struktur Legenda gunung Dermawuharjo?; 2) bagaimana bentuk mitos gunung Dermawuharjo?; dan 3) bagaimana nilai budaya Gunung Demawuharjo?. Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat dan melestarikan Kebudayaan Jawa.



METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersifat kualitatif artinya yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka melainkan kata-kata atau gambaran sesuatu. Penelitian ini juga dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang mungkin secara empiris hidup pada masyarakat sehingga yang dihasilkan berupa teks lisan. Objek penelitian ini adalahmitos gunung Dermawuharjo di desa Dermawuharjo kecamatan Grabagan kabupaten Tuban sebagai nilai budaya mayarakat sekitar. Objek penelitian didapat dari wawancara langsung dengan informan dilapangan. Dengan teknik pengumpulan data, yaitu teknik observasi, teknik wawancara, teknik pencatatan, teknik perekaman dan teknik dokumentasi. Kemudian dilakukan penentuan setting penelitian, menentukan informan, melakukan penerjemahan data, dan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif dan analisis isi untuk mengetahui bagaimana struktur Legenda Gunung Dermawuharjo. Bagaimana mitos legenda serta bagaimana nilai budaya Gunung Dermawuharjo.



HASIL PENELITIAN

Gunung Dermawuharjo berada di desa Dermawuharjo kecamatan Grabagan kabupaten Tuban. Gunung Dermawuharjo berada di tengah wilayah Grabagan. Perjalanan ke gunung Dermawuharjo harus melewati beberapa gunung lainnya. Keistimewaan gunung tersebut, yaitu airnya yang tak berhenti mengalir walaupun di musim kemarau. Tepat di kaki gunung terdapat kolam belerang yang masih asli. Kolam belerang tersebut tidak hanya di satu titik, tetapi ada di beberapa titik di kaki gunung Dermawuharjo.

Kolam belerang di kaki gunung Dermawuharjo dipercaya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit kulit. Banyak warga datang untuk berobat. Warga yang datang bukan hanya dari warga Dermawuharjo saja, tetapi banyak warga desa lain bahkan dari luar kota yang datang untuk berobat. Selain untuk mengobati penyakit kulit, ada alasan lain yang dilakukan warga di gunung Dermawuharjo, yaitu meminta pesugihan dan mencuci keris di malam satu suro.

Keistimewaan kolam belerang adalah pasien tidak boleh berbicara buruk saat berendam di dalamnya. Jika hal itu dilanggar, akan berdampak pada gagalnya pengobatan. Tempat yang digunakan untuk mandi, mencuci keris dan meminta kesugihan tentunya berbeda. Ada tempat-tempat khusus untuk masing-masing keinginan. Setelah melakukan ritual, pengunjung atau pasien biasanya meninggalkan uang receh di tempat ritual. Uang yang ditinggalkan harus receh dan jumlah uang yang tidak ditentukan.



LANDASAN TEORI

Antropologi sastra adalah analisis  yang berkaitan dengan sastra dan kebudayaan. Antropologi berkembang menjadi sosiologi sastra yang berkaitan dengan masyarakat dan kebudayaan sehingga tercipta suatu penerimaan dalam karya sastra. Antropologi sastra  berkembang mengikuti sosiologi sastra, karena antropologi sastra meneliti manusia dan manusia merupakan makhluk sosial. Sehingga keduanya saling terkait dan saling berterimaan dalam karya sastra. Keduanya memiliki keterkaitan sehingga tercipta suatu keragaman dama sastra dan budaya. Hubungan ini menghasilkan anallisis yang baik dalam antropologi sastra maupun sosiologi sastra. (Ratna, 2011:31)

Isu mengenai antropologi sastra pertama kali muncul tahun 1977 Poyatos (dalam Ratna, 2011:33) melalui kongres “ Folklor and Literary antropologi” yang berlangsung di Calcutta. Lahirnya model antropologi sastra dipicu oleh tiga sebab utama, yaitu: 1) baik sastra maupun antropologi menganggap bahasa sebagai obyek penting; 2) kedua disiplin mempermasalahkan manusia budaya; dan 3) kedua disiplin juga mempermasalahkan tradisi lisan, khususnya cerita rakyat dan mitos.

Menurut Wellek dan Warren (1995:243) Mitos merupakan ritual yang diucapkan.  Atau ritual yang diperagakan oleh manusia. Ritual biasanya dilakukan oleh masyarakat pemuka agama untuk keselamatan banyak orang. Menurut artinya “ritual” adalah “cara” yang dilakukan masyarakat dalam meminta keselamatan, keberkahan,maupun sebagai pesta rakyat, seperti panen, kesuburan, kematian, pernikahan dan lain-lain. Tetapi dalam pengertian yang luas, mitos berarti certa-cerita anonym mengenal asal muasal alam semesta dan nasib serta tujuan hidup: penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh suatu masyarakat kepada anak-anak mereka mengenai dunia, tingkah laku manusia, citraan alam dan tujuan hidup manusia. Penjelasan-penjelasan ini bersifat mendidik.Levi-Strauss memberikan perhatian khusus pada mitos, yang menurutnya memiliki kualitas logis dan bukan estetis, psikologis, ataupun religious. Dia menganggap mitos sebagai bahasa, sebuah narasi yang sudah dituturkan untuk diketahui.

Karya sastra dengan masalah nilai budaya sangat menarik dianalisis dari segi antropologi sastra. Berbagai analisis antropologi sastra yang dilakukan Levi-Strauss didasarkan model linguistik jelas menandai hubungan yang tak terpisahkan antara bahasa, sastra dan budaya. Salah satu aspek kebudayaan yang menarik minat para pemerhati antropologi  sastra adalah arkepite dan atau citra primordial.

Menurut antropologi, “kebudayaan” adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dalam belajar. Dalam hal tersebut berarti seluruh kegiatan manusia merupakan kebudayaan. Baik yang dijadikan kebiasan maupun jarang dilakukan, karena kegiatan atau tindakan tersebut dilakukan tidak perlu dengan belajar, melainkan sebagai tindakan bersifat naluri, reflex, beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakuan membabi buta. Bahkan berbagai tindakan manusia merupakan kemampuan naluri yang terbawa dalam gen bersama kelahirannya (seperti menulis, membaca, makan atau berjalan dengan kedua kakinya), juga dirombak menjadi tindakan kebudayaan (Koentjoroningrat, 2009:144-145).

Sebagaimana kebudayaan Indonesia lainnya, masyarakat Jawa memiliki aturan dalam bermasyarakat dan dalam mengatur kehidupan sosialnya, baik dengan tradisi-tradisi yang bersifat religious maupun kejawen. Tradisi yang bersifat religious banyak ditemui dan masih dilakukan oleh masyarakat kejawen. Seperti, sedekah bumi, sedekah laut, ngeruwatan, dan upacara-upacara lainnya. Masing-masing tradisi memiliki nilai budaya yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat budaya.

Nilai budaya merupakan konsep-konsep dalam pikiran sebagai warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Kesadaran itu mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan. Nilai-nilai itu secara tidak sengaja akan terbentuk dalam masyarakat dan nilai-nilai itu akan dijadikan panutan dari satu generasi ke generasi berikutnya sehingga dianggap menjadi sesuatu yang sangat berarti dan bernilai.

Sistem nilai budaya menurut Djamaris (1993: 2) dikelompokkan dalam lima kategori hubungan manusia yaitu: (1) nilai budaya yang dilakukan manusia dalam hubungan manusia dengan Tuhan, (2) nilai budaya yang dilakukan manusia dalam hubungan dengan alam, (3) nilai budaya yang dilakukan manusia dalam hubungan manusia dengan manusia lain, (4) nilai budaya yang dilakukan manusia dalam hubungan manusia dengan masyarakat, dan (5) nilai budaya yang dilakukan manusia dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri.



PEMBAHASAN

1.      Struktur Legenda Gunung Dermawuharjo

Desa Dermawuharjo Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban terdapat petilasan Empu Supo, seorang ahli keris pada masa majapahit. Empu Supo adalah suami dari adik Sunan Kalijaga, yaitu Dewi Rasawulan. Empu Supo berhasil menciptakan keris Sengkelat (simbol rakyat) yang mampu mengalahkan keris Condong Campur milik Prabu Brawijaya V. sehingga Empu Supo dianggap sebagai ahli dalam menciptakan keris sakti pada masanya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan warga desa Dermawuharjo, yaitu Mbah Saeri. Bahwa di desa Dermawuharjo benar terdapat petilasan Empu Supo, seorang ahli keris. Empu Supo adalah suami dari Dewi Rasawulan. Empu Supo membuat dan mencuci kerisnya di gunung Dermawuharjo, itulah alasan banyak warga yang datang ke gunung Dermawuharjo untuk mencuci keris pada malam satu suro.

2.      Mitos Dermawuharjo.

Dermawuharjo adalah desa yang terletah di tengah kecamatan Grabagakan Tuban. Desa ini berada disekitar gunung belerang aktif, sehingga ketika memasuki desa Dermawuharji akan tercuium bau belerang aktif. Belerang menyembur perlahan dan dipercaya dapat menyembuhkan penyakit kulit. Pada jaman dahulu air belerang ini dignakan untuk mencuci keris oleh para pembuat keris, termasuk Empu Supo.

 Sampai saat ini masih banyak warga yang mencuci keris di air belerang di desa Dermawuharjo. Mencuci keris di air belerang Dermawuharjo dipercaya dapat membangkitkan kesaktian keris berdasarka sejarah keris Empu Supo.

Selain untuk mencuci keris, belerang yang muncul di beberapa titik juga digunakan untuk berendam bagi orang yang terkena penyakit kulit. Belerang dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit kulit. Sehingga banyak warga yang berendam di kolam belerang di desa Dermawuharjo.

Belerang (sulfur) adalah unsur non-logam alami yang berlimbah dan berada di dalam bumi secara aktif, tetapi berbau menyengat. Dalam bentuk alami, belerang berbentuk padat berwarna kuning. Meskipun belerang terkenal karena baunya yang mirip telur busuk, bau ini sebenarnya berasal dari gas hidrogen sulfida (H2S), bukan dari belerang murni. Belerang memiliki kristalografi kompleks. Tergantung pada kondisinya, alotrop belerang membentuk beberapa struktur kristal yang berbeda. Manusia hidup di bumi karena adalanya asam amino yang da di belerang. Asam amino  merupakan asal terbentuknya kehidupan. Belerang terjadi secara alami di dekat gunung berapi. Gunung Dermawuharjo merupakan gunung berapi yang masih aktif, sehingga menghasilkan belerang aktif.

Turunan utama belerang adalah asam sulfat (H2SO4), yang merupakan salah satu elemen penting dalam berbagai industri. Seperti industri baterai, industri detergen, pupuk, korek api dan kembang api. Selain sebagai bahan industri baterai, belerang juga digunakan sebagai bahan pembuatan beton, sehingga menjadi kuat dan tahan korosi. Selain itu juga digunakan sebagai bahan pelarut dalam bidang kimia dan farmasi.

Makhluk hidup membutuhkan belerang untuk bertahan hidup.  Karena merupakan asam amino yang dibutuhkan makhluk hidup. Manusia membutuhkan  sekitar 900 mg belerang per hari. Unsur belerang tidak beracun, tapi banyak turunan belerang sederhana, seperti sulfur dioksida (SO2) dan hidrogen sulfida bersifat racun. Belerang biasa ditemukan di alam, seperti gunung sebagai sulfida.Belerang bisa menghasilkan senyawa berbahaya apabila melalui proses tertentu. Berbagai senyawa berbahaya ini dapat menimbulkan bau menyengat dan beracun. Efek yang timbul antara lain iritasi mata, tenggorokan, kerusakan otak melalui gangguan fungsi hipotalamus, serta kerusakan sistem saraf.

Selain dua mitos tersebut, ada satu mitos yang juga dipercaya warga. Banyak warga yang datang ke Dermawuharjo untuk melakukan ritual meminta pesugihan. Warga yang meminta pesugihan biasanya berada di petilasan Empu Supo. Kebanyakan yang meminta pesugihan adalah warga desa lain, bahkan dari luar kota. Mereka meminta pesugihan di petilasan yang berada di gunung Dermawuharjo dengan alasan banyak yang berhasil setelah meminta pesugihan di gunung Dermawuharjo.

3.      Nilai Budaya bagi Masyarakat sekitar Dermawuharjo.

Nilai budaya merupakan konsep-konsep dalam pikiran sebagai warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Kesadaran itu mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan. Nilai-nilai itu secara tidak sengaja akan terbentuk dalam masyarakat dan nilai-nilai itu akan dijadikan panutan dari satu generasi ke generasi berikutnya sehingga dianggap menjadi sesuatu yang sangat berarti dan bernilai. Sistem nilai budaya menurut Djamaris (1993: 2) dapat dikelompokkan berdasarkan lima kategori hubungan manusia yaitu: (1) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan, (2) nilai budaya dalam hubungan dengan alam, (3) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan manusia lain, (4) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat, dan (5) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri.

Tuban dikenal dengan kebudayaannya yang sangat kental. Mulai dari tayub Tuban, sandur, sedekah bumi, Sunan Bonang, dan Kambang Putih yang masih terjaga kelestariannya. Budaya yang masih kental di desa Dermawuharjo adalah mencuci keris. Mencuci keris merupakan bentuk nilai budaya manusia dengan Tuhan, karena pemilik keris percaya bahwa ada kekuatan lain selain Tuhan.

Sebilah keris adalah benda hasil karya seniman pembuatnya. Pembuat keris yang tergolong adikarya (materpeace), makan pembuatnya mendapat gelar empu. Untuk mendapat gelar empu buah keris selain terdiri atas bilahnya, juga harus dilengkapi dengan warangka, ukiran, mendak, selut, dan pendok. Semua itu juga dibuat oleh seniman. Riwayat para empu merupakan kisah yang menarik, salah satu besalen petilasan tempat pembuatan keris merupakan legenda keris Empu Supo di Desa Dermawuharjo yang dituturkan turun menurun.

Nilai budaya selanjutnya, yaitu air belerang yang dipercaya dapat menyembuhkan penyakit kulit. Budaya ini merupakan bentuk nilai budaya antara manusia dengan alam, karena  belerang merupakan benda bumi yang menurut penelitian ilmiah memilih kandungan yang baik bagi kesehatan kulit. Tetapi jika berlebihan juga tidak baik bagi kesehatan kulit dan pernapasan.

Selanjutnya meminta pesugihan di petilasan Empu Supo merupakan nilai budaya antara manusia dengan Tuhan. Karena Empu Supo adalah seorang manusia. Tidak ada kekuatan yang lebih besar selain kekuatan Tuhan. sehingga percaya bahwa petilasan Empu Supo dapat memberikan kekayaan adalah nilai budaya antara manusia dengan Tuhan.



SIMPULAN

Struktur  cerita gunung Dermawuharjo yang berada di Desa Dermawuharjo Kecamatan Grabagan, yaitu terdapat petilasan Empu Supo, seorang yang ahli membuat keris pada masa transisi dari Kerajaan Majapahit ke Kerajaan Demak. Menurut cerita lokal, Empu Supo kawin dengan Dewi Rasawulan, adik Sunan Kalijaga. Empu Supo berhasil menciptakan keris Sengkelat (simbol rakyat) yang mampu mengalahkan keris Condong Campur milik Prabu Brawijaya V.

Bentuk mitos yang muncul adalah kolam belerang di kaki gunung Dermawuharjo dipercaya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit kulit. Banyak warga datang untuk berobat. Selain untuk mengobati penyakit kulit, ada alasan lain yang dilakukan warga di gunung Dermawuharjo, yaitu meminta pesugihan dan mencuci keris di malam satu suro.

Nilai budaya yang tersimpan, yaitu sebilah keris. Sebilah keris adalah hasil karya seniman pembuatnya. Jika keris itu tergolong adikarya (masterpiece), maka seniman pembuatnya diberi gelar empu. Tetapi keris selain terdiri atas bilahnya, juga harus dilengkapi dengan berbagai perabot yang terdiri atas: warangka, ukiran, mendak, selut, dan pendok.













DAFTAR RUJUKAN

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2012. Strukturalismr Levi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta:UGM Press.

Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur:   Tuban Bumi Wali; The Spirit of Harmony, Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban.

Danandjaja, James. 1991. Folklor Indonesia Ilmu Gosip Dongeng dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Grafiti.

Djamaris, Edwar. 1993. Sastra Daerah di Sumatra: Analisis Tema, Amanat, dan Nilai Budaya. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustara Widyatama.

Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara Yang Terlupakan (Pengantar Studi Sastra Lisan). Surabaya:HISKI

Https://www.amazine.co/27072/belerang-s-fakta-sifat-kegunaan-efek-kesehatannya/

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta

Purwadi, M. Hum. 2007. Ensiklopedi Adat Istiadat Budaya Jawa. Jogjakarta: Panji Pustaka

Rachmawati, Charis. 2008. Mitos dan enkulturasi dalam novel Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan pendekatan antropologi sastra. Universitas Semarang.

Taum, Yosept Yapi. 2011. Teori-teori Analisis Sastra Lisan: Strukturalisme Levi-Strauss. Yogyakarta:Lamalera.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta:PT. Gramedia










No comments:

Post a Comment