GUNUNG DERMAWUHARJO DI
DESA DERMAWUHARJO KECAMATAN GRABAGAN KABUPATEN TUBAN SEBAGAI BENTUK MITOS MASYARAKAT
SEKITAR
(KAJIAN ANTROPOLOGI SASTRA)
Kiki Astrea, M.Pd.
Universitas Islam Darul Ulum
astreakiki22@gmail.com. 082231414417
Abstrak:
Hubungan antropologi sastra dengan kebudayaan sama seperti sastra dengan
budaya. Karya sastra selalu berhubungan dengan budaya. Setiap karya sastra
selalu mengangkat budaya sebagai fokus dalam cerita, baik dalam cerpen, novel,
drama yang terjadi pada zaman dulu maupun sekarang. Mitos Gunung Dermawuharjo merupakan
sastra lisan yang dilestarikan oleh warga desa Dermawuharjo. Objek penelitian
ini adalah mitos Gunung Dermawuharjo di desa Dermawuharjo kecamatan Grabagan
kabupaten Tuban sebagai nilai budaya mayarakat sekitar. Objek penelitian
didapat dari wawancara langsung dengan informan dilapangan. Kemudian dilakukan
penentuan setting penelitian, menentukan informan, melakukan penerjemahan data,
dan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif dan analisis isi
untuk mengetahui bagaimana struktur Legenda Gunung Dermawuharjo. Bagaimana
mitos legenda serta bagaimana nilai budaya Gunung Dermawuharjo. Gunung
Dermawuharjo mempunyai keistimewaan berupa kolam belerang yang digunakan untuk
mengobati penyakit kulit. Alasan lain yang dilakukan warga di gunung
Dermawuharjo, yaitu meminta pesugihan dan mencuci keris di malam satu suro.
Kata
kunci:Mitos, Gunung Dermawuharjo, Tuban.
Abstract:The relationship
of literary anthropology with culture is the same as literature with culture.
Literary works are always related to culture. Every literary work has always
lifted the culture as the focus of the story, both in short stories, novels,
plays that occurred in the past and now. The myth of Mount Dermawuharjo is an
oral literature preserved by the villagers of Dermawuharjo. The object of this
research is the myth of Dermawuharjo mountain in Dermawuharjo village, Grabagan sub-district of Tuban district as the
cultural value of the surrounding community. Object research obtained from
direct interviews with informants in the field. Then do the determination of
research settings, determine informants, do data translation, and analyzed by
using descriptive qualitative methods and content analysis to find out how the
structure of the Legend of Mount Dermawuharjo. How the myth of legend and how
the cultural value of Mount Dermawuharjo. Mount Dermawuharjo has the privilege
of a sulfur pool that is used to treat skin diseases. Another reason people do
in Mount Dermawuharjo, which is asking pesugihan and washing keris on the night
one suro.
Keywords: Mythe, Dermawuharjomountain, Tuban
PENDAHULUAN
Kebudayaan menjadi hal yang
menarik dalam karya sastra karena nilai keindahannya. Menurut (Koentjoroningrat, 2006: 146)
kebudayaan adalah bentuk jamak dari kata budhi yang berarti akal. Sehingga
kebudayaan dapat diartikan sebagai suatu hal yang dihasilkan dari akal. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan sastra
Indonesia. Hampir seluruh sastra yang popular berisi kebudayaan Indonesia, maupun
perbandiangan antara kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan asing.
Kebudayaan Indonesia, khususnya
kebudayaan Jawa sangat menarik untuk dilakukan penelitian berdasarkan
antropologi sastra. Kebudayaan Jawa sedikit banyak tidak ditinggalkan oleh
masyarakat, sehingga perkembangannya sangat menarik untuk dilakukan sebuah
penelitian. Antropologi sastra merupakan
ilmu yang mempelajari manusia yang
dipandang sebagai manusia sastra. Dalam hal ini manusia dianggap sebagai
antropologi kultural, karena dapat menghasilkan karya, bahasa, religi,
adat-istiadat, hukum, mitos, seni dalam karya sastra.
Hubungan antropologi sastra dengan
kebudayaan sama seperti sastra dengan budaya. Karya sastra selalu berhubungan
dengan budaya. Setiap karya sastra selalu mengangkat budaya sebagai fokus dalam
cerita, baik dalam cerpen, novel, drama yang terjadi pada zaman dulu maupun
sekarang.
Penelitian menggunakan kajian
antropologi sastra pernah dilakukan oleh Charis Rachmawati. 2008. Dengan
judul Mitos dan enkulturasi dalam novel
Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan pendekatan antropologi sastra. Universitas
Semarang. Penelitian ini mengkaji makna ceritera dari kombinasi dan analisis
miteme, hasil penelaah masyarakat terhadap mitos. Berbeda dengan penelitian
tersebut.
Dengan demikian penelitian ini
memiliki tiga rumusan masalah: 1) bagaimana struktur Legenda gunung
Dermawuharjo?; 2) bagaimana bentuk mitos gunung Dermawuharjo?; dan 3) bagaimana
nilai budaya Gunung Demawuharjo?. Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat
dan melestarikan Kebudayaan Jawa.
METODE PENELITIAN
Penelitian
ini bersifat kualitatif artinya yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka melainkan
kata-kata atau gambaran sesuatu. Penelitian ini juga dilakukan semata-mata
hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang mungkin secara empiris
hidup pada masyarakat sehingga yang dihasilkan berupa teks lisan. Objek
penelitian ini adalahmitos gunung Dermawuharjo di desa Dermawuharjo kecamatan
Grabagan kabupaten Tuban sebagai nilai budaya mayarakat sekitar. Objek
penelitian didapat dari wawancara langsung dengan informan dilapangan. Dengan
teknik pengumpulan data, yaitu teknik observasi, teknik wawancara, teknik
pencatatan, teknik perekaman dan teknik dokumentasi. Kemudian dilakukan penentuan setting
penelitian, menentukan informan,
melakukan penerjemahan data, dan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif dan
analisis isi untuk mengetahui bagaimana struktur Legenda Gunung Dermawuharjo.
Bagaimana mitos legenda serta bagaimana nilai budaya Gunung Dermawuharjo.
HASIL PENELITIAN
Gunung Dermawuharjo
berada di desa Dermawuharjo kecamatan Grabagan kabupaten Tuban. Gunung Dermawuharjo
berada di tengah wilayah Grabagan. Perjalanan ke gunung Dermawuharjo harus
melewati beberapa gunung lainnya. Keistimewaan gunung tersebut, yaitu airnya
yang tak berhenti mengalir walaupun di musim kemarau. Tepat di kaki gunung
terdapat kolam belerang yang masih asli. Kolam belerang tersebut tidak hanya di
satu titik, tetapi ada di beberapa titik di kaki gunung Dermawuharjo.
Kolam belerang di kaki gunung
Dermawuharjo dipercaya dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit kulit. Banyak
warga datang untuk berobat. Warga yang datang bukan hanya dari warga Dermawuharjo
saja, tetapi banyak warga desa lain bahkan dari luar kota yang datang untuk
berobat. Selain untuk mengobati penyakit kulit, ada alasan lain yang dilakukan
warga di gunung Dermawuharjo, yaitu meminta pesugihan dan mencuci keris di
malam satu suro.
Keistimewaan kolam belerang adalah
pasien tidak boleh berbicara buruk saat berendam di dalamnya. Jika hal itu
dilanggar, akan berdampak pada gagalnya pengobatan. Tempat yang digunakan untuk
mandi, mencuci keris dan meminta kesugihan tentunya berbeda. Ada tempat-tempat
khusus untuk masing-masing keinginan. Setelah melakukan ritual, pengunjung atau
pasien biasanya meninggalkan uang receh di tempat ritual. Uang yang
ditinggalkan harus receh dan jumlah uang yang tidak ditentukan.
LANDASAN TEORI
Antropologi sastra adalah
analisis yang berkaitan dengan sastra dan kebudayaan. Antropologi
berkembang menjadi sosiologi sastra yang berkaitan dengan masyarakat dan
kebudayaan sehingga tercipta suatu penerimaan dalam karya sastra. Antropologi
sastra berkembang mengikuti sosiologi
sastra, karena antropologi sastra meneliti manusia dan manusia merupakan
makhluk sosial. Sehingga keduanya saling terkait dan saling berterimaan dalam
karya sastra. Keduanya memiliki keterkaitan sehingga tercipta suatu keragaman
dama sastra dan budaya. Hubungan ini menghasilkan anallisis yang baik dalam
antropologi sastra maupun sosiologi sastra. (Ratna, 2011:31)
Isu mengenai antropologi sastra pertama
kali muncul tahun 1977 Poyatos (dalam Ratna, 2011:33) melalui kongres “ Folklor
and Literary antropologi” yang berlangsung di Calcutta. Lahirnya model
antropologi sastra dipicu oleh tiga sebab utama, yaitu: 1) baik sastra maupun
antropologi menganggap bahasa sebagai obyek penting; 2) kedua disiplin
mempermasalahkan manusia budaya; dan 3) kedua disiplin juga mempermasalahkan
tradisi lisan, khususnya cerita rakyat dan mitos.
Menurut Wellek dan Warren
(1995:243) Mitos merupakan
ritual yang diucapkan. Atau ritual yang
diperagakan oleh manusia. Ritual biasanya dilakukan oleh masyarakat pemuka
agama untuk keselamatan banyak orang. Menurut artinya “ritual” adalah “cara”
yang dilakukan masyarakat dalam meminta keselamatan, keberkahan,maupun sebagai
pesta rakyat, seperti panen, kesuburan, kematian, pernikahan dan lain-lain. Tetapi dalam pengertian yang luas, mitos berarti certa-cerita
anonym mengenal asal muasal alam semesta dan nasib serta tujuan hidup:
penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh suatu masyarakat kepada anak-anak
mereka mengenai dunia, tingkah laku manusia, citraan alam dan tujuan hidup
manusia. Penjelasan-penjelasan ini bersifat mendidik.Levi-Strauss memberikan
perhatian khusus pada mitos, yang menurutnya memiliki
kualitas logis dan bukan estetis, psikologis, ataupun religious. Dia menganggap
mitos sebagai bahasa, sebuah narasi yang sudah dituturkan untuk diketahui.
Karya sastra dengan masalah nilai budaya
sangat menarik dianalisis dari segi antropologi sastra. Berbagai analisis
antropologi sastra yang dilakukan Levi-Strauss didasarkan model linguistik
jelas menandai hubungan yang tak terpisahkan antara bahasa, sastra dan budaya.
Salah satu aspek kebudayaan yang menarik minat para pemerhati antropologi sastra adalah arkepite dan atau citra
primordial.
Menurut antropologi, “kebudayaan” adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan
masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dalam belajar. Dalam hal tersebut
berarti seluruh kegiatan manusia merupakan kebudayaan. Baik yang
dijadikan kebiasan maupun jarang dilakukan, karena kegiatan atau tindakan
tersebut dilakukan tidak perlu dengan belajar, melainkan sebagai tindakan
bersifat naluri, reflex, beberapa tindakan akibat
proses fisiologi, atau kelakuan membabi buta. Bahkan berbagai tindakan manusia
merupakan kemampuan naluri yang terbawa dalam gen bersama kelahirannya (seperti
menulis, membaca, makan atau berjalan dengan kedua
kakinya), juga dirombak menjadi tindakan kebudayaan (Koentjoroningrat,
2009:144-145).
Sebagaimana kebudayaan Indonesia lainnya,
masyarakat Jawa memiliki aturan dalam bermasyarakat dan dalam mengatur
kehidupan sosialnya, baik dengan tradisi-tradisi yang bersifat religious maupun
kejawen. Tradisi yang bersifat religious banyak ditemui dan masih dilakukan
oleh masyarakat kejawen. Seperti, sedekah bumi, sedekah laut, ngeruwatan, dan
upacara-upacara lainnya. Masing-masing tradisi memiliki nilai budaya yang
sangat penting dalam kehidupan masyarakat budaya.
Nilai budaya merupakan konsep-konsep
dalam pikiran sebagai warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amat
bernilai dalam hidup. Kesadaran itu mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam
kehidupan. Nilai-nilai itu secara tidak sengaja akan terbentuk dalam masyarakat
dan nilai-nilai itu akan dijadikan panutan dari satu generasi ke generasi
berikutnya sehingga dianggap menjadi sesuatu yang sangat berarti dan bernilai.
Sistem nilai budaya menurut
Djamaris (1993: 2) dikelompokkan dalam lima kategori hubungan manusia
yaitu: (1) nilai budaya yang
dilakukan manusia dalam hubungan manusia
dengan Tuhan, (2) nilai budaya yang
dilakukan manusia dalam hubungan dengan
alam, (3) nilai budaya yang
dilakukan manusia dalam hubungan manusia
dengan manusia lain, (4) nilai budaya yang dilakukan manusia dalam
hubungan manusia dengan masyarakat, dan (5) nilai budaya yang dilakukan manusia dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
PEMBAHASAN
1.
Struktur
Legenda Gunung Dermawuharjo
Desa Dermawuharjo Kecamatan Grabagan Kabupaten Tuban terdapat
petilasan Empu Supo, seorang ahli keris
pada masa majapahit. Empu Supo adalah suami dari adik Sunan Kalijaga, yaitu
Dewi Rasawulan. Empu Supo berhasil menciptakan
keris Sengkelat (simbol rakyat) yang mampu mengalahkan keris Condong Campur
milik Prabu Brawijaya V. sehingga Empu Supo
dianggap sebagai ahli dalam menciptakan keris sakti pada masanya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan warga
desa Dermawuharjo, yaitu Mbah Saeri. Bahwa di desa Dermawuharjo benar terdapat
petilasan Empu Supo, seorang ahli keris. Empu Supo adalah suami dari Dewi
Rasawulan. Empu Supo membuat dan mencuci kerisnya di gunung Dermawuharjo,
itulah alasan banyak warga yang datang ke gunung Dermawuharjo untuk mencuci
keris pada malam satu suro.
2.
Mitos
Dermawuharjo.
Dermawuharjo adalah desa yang terletah di tengah kecamatan Grabagakan
Tuban. Desa ini berada disekitar gunung belerang aktif, sehingga ketika
memasuki desa Dermawuharji akan tercuium bau belerang aktif. Belerang menyembur
perlahan dan dipercaya dapat menyembuhkan penyakit kulit. Pada jaman dahulu air
belerang ini dignakan untuk mencuci keris oleh para pembuat keris, termasuk
Empu Supo.
Sampai saat ini masih banyak warga yang
mencuci keris di air belerang di desa Dermawuharjo. Mencuci keris di air
belerang Dermawuharjo dipercaya dapat membangkitkan kesaktian keris berdasarka
sejarah keris Empu Supo.
Selain untuk mencuci keris, belerang
yang muncul di beberapa titik juga digunakan untuk berendam bagi orang yang
terkena penyakit kulit. Belerang dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit
kulit. Sehingga banyak warga yang berendam di kolam belerang di desa
Dermawuharjo.
Belerang (sulfur) adalah unsur
non-logam alami yang berlimbah
dan berada di dalam bumi secara aktif, tetapi berbau menyengat. Dalam bentuk alami, belerang berbentuk padat berwarna kuning.
Meskipun belerang terkenal karena baunya yang mirip telur busuk, bau ini
sebenarnya berasal dari gas hidrogen sulfida (H2S), bukan dari belerang murni.
Belerang memiliki kristalografi kompleks. Tergantung pada kondisinya, alotrop belerang
membentuk beberapa struktur kristal yang berbeda. Manusia hidup di bumi karena adalanya asam
amino yang da di belerang. Asam amino
merupakan asal terbentuknya kehidupan. Belerang terjadi secara alami di dekat gunung berapi. Gunung Dermawuharjo merupakan gunung berapi
yang masih aktif, sehingga menghasilkan belerang aktif.
Turunan utama belerang adalah
asam sulfat (H2SO4), yang merupakan salah satu elemen penting dalam berbagai
industri. Seperti industri
baterai, industri detergen, pupuk, korek api dan kembang api. Selain sebagai
bahan industri baterai, belerang juga digunakan sebagai bahan pembuatan beton,
sehingga menjadi kuat dan tahan korosi. Selain itu juga digunakan sebagai bahan
pelarut dalam bidang kimia dan farmasi.
Makhluk hidup membutuhkan
belerang untuk bertahan hidup. Karena
merupakan asam amino yang dibutuhkan makhluk hidup.
Manusia membutuhkan sekitar 900 mg belerang per hari. Unsur
belerang tidak beracun, tapi banyak turunan belerang sederhana, seperti sulfur
dioksida (SO2) dan hidrogen sulfida bersifat racun. Belerang biasa ditemukan di alam, seperti gunung sebagai
sulfida.Belerang bisa menghasilkan senyawa berbahaya apabila melalui proses
tertentu. Berbagai senyawa berbahaya ini dapat menimbulkan bau
menyengat dan beracun. Efek yang timbul antara lain iritasi mata, tenggorokan, kerusakan
otak melalui gangguan fungsi hipotalamus, serta kerusakan sistem saraf.
Selain dua mitos tersebut, ada satu
mitos yang juga dipercaya warga. Banyak warga yang datang ke Dermawuharjo untuk
melakukan ritual meminta pesugihan. Warga yang meminta pesugihan biasanya
berada di petilasan Empu Supo. Kebanyakan yang meminta pesugihan adalah warga
desa lain, bahkan dari luar kota. Mereka meminta pesugihan di petilasan yang
berada di gunung Dermawuharjo dengan alasan banyak yang berhasil setelah
meminta pesugihan di gunung Dermawuharjo.
3.
Nilai
Budaya bagi Masyarakat sekitar Dermawuharjo.
Nilai budaya merupakan konsep-konsep
dalam pikiran sebagai warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amat
bernilai dalam hidup. Kesadaran itu mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam
kehidupan. Nilai-nilai itu secara tidak sengaja akan terbentuk dalam masyarakat
dan nilai-nilai itu akan dijadikan panutan dari satu generasi ke generasi
berikutnya sehingga dianggap menjadi sesuatu yang sangat berarti dan bernilai.
Sistem nilai budaya menurut Djamaris (1993: 2) dapat dikelompokkan berdasarkan
lima kategori hubungan manusia yaitu: (1) nilai budaya dalam hubungan manusia
dengan Tuhan, (2) nilai budaya dalam hubungan dengan alam, (3) nilai budaya
dalam hubungan manusia dengan manusia lain, (4) nilai budaya dalam hubungan
manusia dengan masyarakat, dan (5) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan
dirinya sendiri.
Tuban dikenal dengan kebudayaannya yang
sangat kental. Mulai dari tayub Tuban, sandur, sedekah bumi, Sunan Bonang, dan
Kambang Putih yang masih terjaga kelestariannya. Budaya yang masih kental di
desa Dermawuharjo adalah mencuci keris. Mencuci keris merupakan bentuk nilai
budaya manusia dengan Tuhan, karena pemilik keris percaya bahwa ada kekuatan
lain selain Tuhan.
Sebilah keris adalah benda hasil
karya seniman pembuatnya. Pembuat
keris yang tergolong adikarya (materpeace), makan pembuatnya mendapat gelar
empu. Untuk mendapat gelar
empu buah keris selain terdiri atas
bilahnya, juga harus dilengkapi dengan warangka, ukiran, mendak, selut, dan
pendok. Semua itu juga dibuat oleh seniman. Riwayat para empu merupakan kisah yang menarik, salah satu
besalen petilasan tempat pembuatan keris merupakan legenda keris Empu
Supo di Desa Dermawuharjo yang dituturkan turun menurun.
Nilai budaya selanjutnya, yaitu air
belerang yang dipercaya dapat menyembuhkan penyakit kulit. Budaya ini merupakan
bentuk nilai budaya antara manusia dengan alam, karena belerang merupakan benda bumi yang menurut
penelitian ilmiah memilih kandungan yang baik bagi kesehatan kulit. Tetapi jika
berlebihan juga tidak baik bagi kesehatan kulit dan pernapasan.
Selanjutnya meminta pesugihan di
petilasan Empu Supo merupakan nilai budaya antara manusia dengan Tuhan. Karena
Empu Supo adalah seorang manusia. Tidak ada kekuatan yang lebih besar selain
kekuatan Tuhan. sehingga percaya bahwa petilasan Empu Supo dapat memberikan
kekayaan adalah nilai budaya antara manusia dengan Tuhan.
SIMPULAN
Struktur
cerita gunung Dermawuharjo yang berada di Desa Dermawuharjo Kecamatan
Grabagan, yaitu terdapat petilasan Empu Supo, seorang yang ahli membuat keris
pada masa transisi dari Kerajaan Majapahit ke Kerajaan Demak. Menurut cerita
lokal, Empu Supo kawin dengan Dewi Rasawulan, adik Sunan Kalijaga. Empu Supo
berhasil menciptakan keris Sengkelat (simbol rakyat) yang mampu mengalahkan
keris Condong Campur milik Prabu Brawijaya V.
Bentuk mitos yang muncul adalah kolam
belerang di kaki gunung Dermawuharjo dipercaya dapat menyembuhkan berbagai
macam penyakit kulit. Banyak warga datang untuk berobat. Selain untuk mengobati
penyakit kulit, ada alasan lain yang dilakukan warga di gunung Dermawuharjo,
yaitu meminta pesugihan dan mencuci keris di malam satu suro.
Nilai budaya yang tersimpan, yaitu
sebilah keris. Sebilah keris adalah hasil karya seniman pembuatnya. Jika keris
itu tergolong adikarya (masterpiece), maka seniman pembuatnya diberi gelar
empu. Tetapi keris selain terdiri atas bilahnya, juga harus dilengkapi dengan
berbagai perabot yang terdiri atas: warangka, ukiran, mendak, selut, dan
pendok.
DAFTAR RUJUKAN
Ahimsa-Putra,
Heddy Shri. 2012. Strukturalismr
Levi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta:UGM Press.
Badan
Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Tuban Bumi Wali; The Spirit of Harmony,
Pemerintah Daerah Kabupaten Tuban.
Danandjaja, James. 1991. Folklor Indonesia Ilmu Gosip Dongeng dan lain-lain. Jakarta:
Pustaka Grafiti.
Djamaris, Edwar. 1993. Sastra Daerah di
Sumatra: Analisis Tema, Amanat, dan Nilai Budaya. Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Depdikbud.
Endraswara,
Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian
Sastra. Yogyakarta: Pustara Widyatama.
Hutomo,
Suripan Sadi. 1991. Mutiara Yang
Terlupakan (Pengantar Studi Sastra Lisan). Surabaya:HISKI
Https://www.amazine.co/27072/belerang-s-fakta-sifat-kegunaan-efek-kesehatannya/
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta
Purwadi,
M. Hum. 2007. Ensiklopedi Adat Istiadat
Budaya Jawa. Jogjakarta: Panji Pustaka
Rachmawati,
Charis. 2008. Mitos dan enkulturasi dalam
novel Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan pendekatan antropologi sastra.
Universitas Semarang.
Taum,
Yosept Yapi. 2011. Teori-teori Analisis
Sastra Lisan: Strukturalisme Levi-Strauss. Yogyakarta:Lamalera.
Wellek,
Rene dan Austin Warren. 1995. Teori
Kesusastraan. Jakarta:PT. Gramedia
No comments:
Post a Comment