NILAI BUDAYA PADA NOVEL CENTHINI:40 MALAM MENGINTIP SANG PENGANTIN KARYA SUNARDIAN WIRODONO (KAJIAN ANTROPOLOGI SASTRA)
Kiki
Astrea, M.Pd.
Universita
Islam Darul Ulum Lamongan
astrea.kiki@yahoo.com
Abstract
Literary antropology
is the study of literature with human relevance. This study examines the
culture of Jawa in the novel Centhini:40
Night peek of the Wedding. . In addition, this study also seeks the of
value customs, social organisation, and myth in the novel Centhini:40 Night peek of the Wedding. The research method using
descriptive analytical methof of
hermeneutics. Source of data used is novel Centhini:40
Night Peek of the Wedding by. Sunardian Wirodono. The data used is in the
form of words, phrases, clauses, sentences and paragraphs in the novel. The
collection of data by specifying the object and the analysis data. Metode
identification to the preparation, gathering the data that has been selected.
Last group the data and data analysis. Value customs in this research namely
the myth of human destiny is determined by heredity, meaning thet the fate of a
person accordance with the offspring, if the parents are kings and will he
became king, if his parents were slaves than he will be a slave.
Abstrak
Antropologi sastra
merupakan studi mengenai karya sastra dengan relevansi manusia. Penelitian ini
berusaha mengkaji kebudayaan Jawa dalam novel Centhini: 40 Malam Mengintip Sang
Pengantin. Selain itu, penelitian ini akan mendeskripsikan nilai-nilai dalam
kebiasaan atau adat istiadat, pranata sosial, serta mitos dalam novel Centhini:
40 Malam Mengintip Sang Pengantin. Pendekatan deskriptif analitik hermeneutic.
Sumber data yang digunakan adalah novel Centhini: 40 Malam Mengintip Sang
Pengantin Karya Sunardian Wirodono. Data yang digunakan berupa kata, frasa,
klausa, kalimat dan paragraph dalam novel. Pengumpulan data dengan menentukan
objek dan dengan identifikasi data. Metode analisis data dengan mengolah,
mengumpulkan data dan analisis data yang akan disajikan. Nilai-nilai budaya
yang muncul adalah mitos nasib manusia ditentukan berdasarkan keturunan, jika
orang tuanya adalah raja maka dia akan menjadi raja, jika orang tuanya adalah
budak maka dia akan menjadi budak.
Kata
Kunci: Antropologi Sastra, Nilai Budaya, Centhini:40 Malam Mengintip Sang
Pengantin Karya Sunardian Wirodono.
PENDAHULUAN
Kebudayaan menjadi hal yang
menarik dalam karya sastra karena nilai keindahannya. Kebudayaan berasal darii
kata sangsekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi
dan akal. Dengan demikian kebudayaan diartikan: “hal-hal yang bersangkutan
dengan akal” (Koentjoroningrat, 2009:146). Kebudayaan sangat erat hubungannya
dengan sastra Indonesia. Hamper seluruh sastra yang popular berisi kebudayaan
Indonesia, maupun perbandiangan antara kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan
asing.
Kebudayaan Indonesia, khususnya
kebudayaan Jawa sangat menarik untuk dilakukan penelitian berdasarkan
antropologi sastra. Kebudayaan Jawa sedikit banyak tidak ditinggalkan oleh
masyarakat, sehingga perkembangannya sangat menarik untuk dilakukan sebuah
penelitian. Antropologi sastra adalah studi mengenai karya sastra dengan
relevansi manusia (anthropos). Dengan melihat pembagian antropologi menjadi dua
macam, yaitu antropologi fisik dan antropologi kultural, maka antropologi
dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi kultural dengan karya-karya yang
dihasilkan manusia, seperti, bahasa, religi, mitos, sejarah, hukum,
adat-istiadat, dan karya seni khususnya karya sastra.
Hubungan antropologi sastra dengan
kebudayaan sama seperti sastra dengan budaya. Karya sastra selalu berhubungan
dengan budaya. Setiap karya sastra selalu mengangkat budaya sebagai fokus dalam
cerita, baik dalam cerpen, novel, drama yang terjadi pada zaman dulu maupun
sekarang.
Penelitian menggunakan kajian
antropologi sastra pernah dilakukan oleh Charis Rachmawati. 2008. Dengan
judul Mitos dan enkulturasi dalam novel
Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan pendekatan antropologi sastra. Universitas
Semarang. Penelitian ini mengkaji makna ceritera dari kombinasi dan analisis
miteme, hasil penelaah masyarakat terhadap mitos. Berbeda dengan penelitian
tersebut.
Dengan demikian penelitian ini
memiliki tiga rumusan masalah: 1) bagaimana struktur Novel Centhini:40 Malam
Mengintip sang Pengantin Karya Sunardian Wirodono?; 2) bagaimana bentuk budaya
masyarakat Jawa dalam novel Centhini:40 Malam Mengintip Sang Pengantin Karya
Sunardian Wirodono?; dan 3) bagaimana nilai budaya masyarakat Jawa dalam Novel
Centhini:40 Malam Mengintip?. Sang Pengantin Karya Sunardian Wirodono.
Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat dan melestarikan kebudayaan Jawa.
TEORI
Antropologi sastra adalah
analisis dan pemahaman karya sastra dalam kaitannya dengan kebudayaan. Dalam
perkembangan berikut definisi tersebut dilanjutkan dengan pemahaman dalam
perspektif kebudayaan yang lebih luas. Perkembangan yang dimaksud juga mengikuti
perkembangan sosiologi sastra yang semula hanya berkaitan dengan masyarakat
yang ada dalam karya sastra kemudian meluas pada masyarakat sebagai latar
belakang penciptaan sekaligus penerimaan. Karya sastra dengan demikian bukan
refleksi, bukan semata-mata memantulkan kenyataan, melainkan merefraksikan,
membelokkannya sehhingga berhasil mengevokasi keberagaman budaya secara lebih
bermakna. Dalam hubungan ini akan terjadi hubungan timbal bali, keseimbangan
yang dinamis antara kekuatan aspek sastra dengan antropologi itu sendiiri.
Bahkan, dalam analisis yang baik, seolah-olah tidak bias dikendalikan lagi
apakah yang dibicarakan termasuk satra atau antropologi (Ratna, 2011:31)
Isu mengenai antropologi sastra
pertama kali muncul tahun 1977 Poyatos (dalam Ratna, 2011:33) melalui kongres “
Folklor and Literary antropologi” yang berlangsung di Calcutta. Lahirnya model
antropologi sastra dipicu oleh tiga sebab utama, yaitu: 1) baik sastra maupun
antropologi menganggap bahasa sebagai obyek penting; 2) kedua disiplin
mempermasalahkan manusia budaya; dan 3) kedua disiplin juga mempermasalahkan
tradisi lisan, khususnya cerita rakyat dan mitos.
Karya sastra dengan masalah nilai
budaya sangat menarik dianalisis dari segi antropologi sastra. Berbagai
analisis antropologi sastra yang dilakukan Levi-Strauss didasarkan model linguistik
jelas menandai hubungan yang tak terpisahkan antara bahasa, sastra dan budaya.
Salah satu aspek kebudayaan yang menarik minat para pemerhati antropologi sastra adalah arkepite dan atau citra primordial.
Menurut antropologi, “kebudayaan”
adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dalam belajar. Dalam hal
tersebut berarti seluruh tindalakan manusia adalah ‘kebudayaan’ karena hanya
sedikit tindakan manusia dalam kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakan
dengan belajar, yanitu hanya beberapa tindakan naluri, beberapa reflex,
beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakuan membabi buta. Bahkan berbagai
tindakan manusia merupakan kemampuan naluri yang terbawa dalam gen bersama
kelahirannya (seperti minum, makan atauberjalan dengan kedua kakinya), juga
dirombak menjadi tindakan kebudayaan (Koentjoroningrat, 2009:144-145).
Sebagaimana kebudayaan Indonesia
lainnya, masyarakat Jawa memiliki aturan dalam bermasyarakat dan dalam mengatur
kehidupan sosialnya, baik dengan tradisi-tradisi yang bersifat religious maupun
kejawen. Tradisi yang bersifat religious banyak ditemui dan masih dilakukan
oleh masyarakat kejawen. Seperti, sedekah bumi, sedekah laut, ngeruwatan, dan
upacara-upacara lainnya. Masing-masing tradisi memiliki nilai budaya yang
sangat penting dalam kehidupan masyarakat budaya.
Nilai budaya merupakan
konsep-konsep dalam pikiran sebagai warga masyarakat mengenai hal-hal yang
mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Kesadaran itu mempengaruhi sikap dan
perilakunya dalam kehidupan. Nilai-nilai itu secara tidak sengaja akan
terbentuk dalam masyarakat dan nilai-nilai itu akan dijadikan panutan dari satu
generasi ke generasi berikutnya sehingga dianggap menjadi sesuatu yang sangat
berarti dan bernilai.
Sistem nilai budaya menurut
Djamaris (1993: 2) dapat dikelompokkan berdasarkan lima kategori hubungan
manusia yaitu: (1) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan, (2) nilai
budaya dalam hubungan dengan alam, (3) nilai budaya dalam hubungan manusia
dengan manusia lain, (4) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat,
dan (5) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode
deskriptif analitik kualitatif. Penelitian menurut Jabrohim (2002:1) adalah
suatu kegiatan atau proses semantic untuk memecahkan masalah dengan dukungan
data sebagai landasan mengambil kesimpulan. Penelitian ini menggunakan metode
hermeneutika dan deskriptif analitik. Metode analisis data dengan mengolah,
mengumpulkan data dan analisis data yang akan disajikan. Data-data yang telah
dijelaskan sebelumnya dan akan ditarik sebuah simpulan dari temuan-temuan yang
telah ditemukan dari proses analisis. Prosedur ini mencirikan bahwa penelitian
ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah
Novel Centhini:40 Malam Mengintip Sang pengantin Karya Sunardian Wirodono. Data
penelitian ini adalan kata, Frasa, klausa, kalimat dan paragraph dalam novel
Centhini:40 Malam Mengintip Sang Pengantin.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.
Struktur Novel
Wajah
Sultan Agung hanyalah kemarahan. Beliau ingin menghancurkan Kesunanan Giri.
Karena Sunan Giri adalah keturunan seorang Hindu. Sedangkan Sunan Giri ingin
mempertahankan kesunanan hingga titik penghabisan, namun Amongraga yang awalnya
bernama Jayengresmi dan kedua adiknya sama sekali tidak bisa membantah.
Kesunanan Giri-pun runtuh oleh Mataram, Sunan Giri ditangkap dan dibawa ke
Mataram. Sedangkan Jayengresmi, Jayengsari dan Rancangkapti melarikan diri dan
berpisah diperjalanan. Jayengresmi akhirnya sampai di desa Wanamarta. Dia
berguru pada seorang kyai sampai ia benar-benar menjadi seorang kyai dan ia
segera meminta ijin pada gurunya untuk mencari kedua adiknya, yaitu Jayengsari
dan Rancangkapti. Untuk itu dia mengganti nama menjadi Amongraga. Gurunya
memerintahkan untuk menikahi putri pembesar desa Wanamarta, yaitu Tambangraras.
Setibanya di Wanamarta, Amongraga menemui kyai Bayi Panutradan keluarga besar
Tambangraras untuk meminangnya. Ki Bayi Panutra adalah ayahanda Tambangraras,
beliau merupakan pembesar desa Wanamarta. Tambangraras adalah anak sulung dari
tiga bersaudara, dan dialah satu-satunya yang belum menikah.
Amongraga
dan Tambangraras menikah, sementara centhi ditugaskan untuk menemani
Tambangraras dan menjaga malam-malam pengantin sampai 40 malam dan melaporkan
apa saja yang terjadi pada malam tersebut. Apakah pengantin sudah melepas
keintiman besama atau belum.
Centhini,
demikian orang-orang menyebutku. Dan jangan tanyakan mengapa begitu, karena
akupun hanya mendapatkan kesia-siaan ketika menanyakannya. Yang pasti dan
mengki dari sana aku berasal. Aku seorang centhi, emban, alias PRT, pembantu
rumah tangga. Aku seorang perempuan yang masih remaja. Sangat remaja. Aku
mendapatkan tugas yang berat, tetapi istimewa, apa itu? Menunggui malam pertama
Denayu Tambangraras. Kalau boleh aku bilang, Denayu Tambangraras sangat
bergantung padaku.
Ketika
orang-orang bergembira merayakan pernikahan, Centhini justru harus bertugas
menjaga malam pengantin. Tambangraras berparas ayu, kulitnya lenir kuning dan
memiliki tubuh yang bagus. Banyak lelaki yang datang melamar namu ditolaknya,
ia bukan memilih lelaki yang kaya dan tampan, tetapi yang mampu menyayanginya
sampai mati. Syekh amongraga pun tampan rupanya. Tubuhnya sempurna dan enak
dipandang. Belum lagi tutur katanya santun. Budi pekertinya halus, rendah hati,
namun berpengetahuan luas.
Malam
pertama pengantin. Ketika orang-orang bergembira ria, nyanyi-nyanyi dan terbangun
di pendapa, juga halaman, para ronggeng menari menggoda lelaki, aku harus
disiksa menunggui sang pengantin. Para perempuan sibuk menyiapkan makanan dan
minuman, sedangkan para lelaki sibuk berbincang. Sementara centhini menunggui
pengantin hingga pagi. Malam kedua para
tamu berdatangan, mereka utusan dari Gresik, Tuban dan Rembang dengan membawa ubarampe dan bingkisan uang sebesar 84 anggris lebih tiga seka. Itu jumlah yang cukup besar, dan cukup untuk membeli sepuluh
ekor sapi. Malam ketiga gamelan ditabuh, pengantin pun diunduh oleh sanak
saudara pengantin lelaki. Pasukan dapur pun sibuk menyiapkan hidangan aneka
yang serba enak. Pesta unduh pengantin dihadiri para tetamu dan menyumbang ubarampe. Sampai selesainya acara dan
malam ini pun sepasang pengantin belum melepas hasrat mereka. Malam berikutnya
acara unduh mantu pindah ke rumah adik Ki Bayi, yaitu Ki Panukma, dilanjutkan
di rumah Ki Panamar, Ki Kulawirya, Ki Penghulu Basorudin. Dalam acara unduh
pengantin seperti ini biasanya bias jadi arena jor-joran. Pamer kekayaan, pamer kuasa, pamer pengaruh.
Malam-malam
berikutnya pun sama, Centhini menunggui pengantin hingga suara adzan subuh
berkumandang. Mereka berjamaah, kemudian mengadangan ceramah dan mengaji
bersama. Amongraga selalu memberikan ceramah bagi seluruh santri. Tambangraras
pun menunggui suaminya. Tambangraras tetap seperti dulu, tak berubah
sedikitpun. Dia terlihat lebih cantik. Para gadis yang telah menikah pastilah
berubah menjadi lebih dewasa.
Hari-hari
dalam keluarga Ki Bayi Panutra menjadi harmonis dan penuh dengan keberkahan.
Centhi dan para santri menjadi semakin rajin berjamaah setelah kehadirah syekh
Amongraga. Bukan hanya itu, bahkan masyarakat luas yang biasanya memenuhi
jalanan dan warung untuk bermain kartu, sekarang berbondong-bondong berjamaah
shalat, dan suara adzan terdengar bersahut-sahutan. Setiap selesai mengaji,
santri dan centhi berebut meminum minuman sisa Syekh Amongraga dan mencium
tangannya saat berjabat tangan. Hal itu dipercaya mendatangkan keberkahan bagi
kehidupan manusia.
Upacara
unduh mantu terus dilakukan sampai 40 hari, bergantian dari keluarga kedua
pengantin. Pada bulan maulud merupakan bulan yang baik untuk mengadakan acara
seperti unduh mantu, hitanan, sunatan. Di desa Wanamarta hajatan bulan ini berlangsung
seperti bergilir. Pada bulan inilah dianggap bulan penuh berkah, karena
merupakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Setiap
malam centhi menunggui pengantin, namun taka da satu ceritapun yang dapat
diceritakan. Setiap pagi dia hanya melihat seprei putih yang masih terlihat
bersih putih. Centhini juga mengagumi Syekh Amongraga, dia berharap mendapatkan
suami seperti Syekh Amongraga. Selagipun ada orang yang melamanya pasti bukan
pria seperti Syekh Amongraga.
Syekh
amongraga merasa nyaman menceritakan kehidupan masa lalunya kepada Centhini.
Bahkan segala urusan kepergiannya yang setiap malam dirundingkan bersama Gothak
dan Gathik, yaitu pendamping Syekh Amongraga saat di kesunanan Giri. Mereka
yang membantu Amongraga dalam mencari kedua adiknya suatu hari nanti. Sementara
itu Tambangraras hanya diberikan siraman rohani yang dirasanya akan memberikan
keringanan batinnya saat ditinggalkan Amongraga.
Sementara
Centhini tidak mengindahkan cerita amongraga, dia masih berkonsentrasi
menunnggui kedua mempelai, apakah akan terjadi malam pengantinyang indah mala
mini. Beberapa hari ini Centhini selalu tertidur saaat menjaga pengantin,
karena pada malam hari ia sering didatangi Amongraga. Dalam hati Centhini,
wanita yang sudah melepas keperawannya untuk suaminya pasti wajahnya akan
bersinar.
Pagi
itu setelah malam ke- 34, Denayu Tambangraras keluar dari kamar dengan wajah
yang pucat memeluk Centhini, mungkinkah terjadi peraduan yang indah semalam.
Dan benar saja wajah Tambangraras terlihat bersinar setelahnya. Hajatanpun
dimulai dengan harapan sang pengantin mendapatkan janin yang akan menjadi anak
sholeh.
Kebahagiaan
itu tidak berlangsung lama,karena pada suatu pagi, tiba-tiba Tambangraras
bertanya pada Centhini “Apakah kamu melihat Syekh amongraga?” seketika itu
Centhini berkata dalam hati “apakah ini sudah harinya?” semua orang panic
mencari Syekh Amongraga. Ki Bayi Panutra bertanya pada Centhini “Apakah selama
ini dia tidak pernah bicara apapun padamu?” Centhini bercerita bahwa Syekh
Amongraga pernah bercerita bahwa ini adalah hari dimana dia akan mencari kedua
adiknya. Tambangraras tak henti-hentinya menangis. Beginikah akhir verita itu,
dia mengajarkan nilai-nilai kehidupan dan kematian.
Syekh
amongraga menitipkan surat untu Tambangraras “Niken, tambangraras, aku mohon
pamit padamu, karena mengabdi pada Hyang widi, tiada kekuatan yang mampu
menengahnya, kupergi berkelana, mencari dua saudara mudaku, yang berpencar
karena peperangan, ketika Mataram menyerang Kasunanan Giri. Entah dimana mereka
kini akupun tak mengerti. Dinda aku harap kau taqorrub pada Hyang widi, pasrah
menerima segala titah, jasadku biarlah serahkan pada allah, kepergianku ini
tidak lama…”.
Berdasarkan
cerita diatas, dapat disimpulkan struktur novel Centhini:40 Malam Mengintip
Sang Pengantin yaitu:
1. Tokoh :Syekh
Amongraga, Tambangraras, Centhini, Ki Bayi Panutra.
2. Setting : Kasunanan
Giri, desa Wanamarta.
3. Alur : dimulai dari
Kasunanan Giri kemudian menuju ke desa Wanamarta (alur maju)
4. Perwatakan: Syekh Amongraga
merupakan tokoh berwatak protagonis, dia adalah seorah ahli ilmu agama yang
pituturnya halus dan sopan. Tambangraras berwatak protagonis, dia adalah istri
Syekh amongraga yang patuh terhadap suaminya. Centhini berwatak protagonis,
pasrah terhadap nasib yang dimilikinya. Ki Bayi Panutra berwatak potagonis,
menyerahkan pesantren kepada Syekh amongraga.
5. Amanat: amanat yang
muncul ada lebih dari satu, yaitu hidup harus berserah diri kepada yang Maha
Kuasa. Sebagai seorang manusia, kita harus bertanggung jawab pada pekerjaan.
2.
Bentuk Budaya
a. Adat istiadat
Adat istiadat adalah
perilaku budaya dan aturan-aturan yang telah berusaha diterapkan dalam aturan
masyarakat. Indonesia kaya akan kebudayaan, sebagai contoh salah satu
peninggalan yang masih tampak pada masyarakat adalah adanya adat istiadat
(Purwadi, 2007:12)
1.
Adat
istiadat yang ada dalam novel Centhini 40 Malam ini adalah setelah melaksanakan
ijab qobul, selanjutnya dilakukan resepsi pernikahan. Dilanjutkan dengan unduh
mantu di kedua kelarga besar.
“Sedari pagi, di rumah
Ki Jayengraga sudah riuh-rendah. Hari ini, pengantin Syekh
Amongraga-Tambangraras akan diunduh-nya. Itu artinya, para pasukan dapur akan
bertempur kembali. Menyiapkan masakan aneka serba enak dan mewah” (CMMSP, 2011-77).
Dalam sebuah acara selalu ada hidangan mewah, diiringi
dengan suara tabuh gamelan, terbangan, dan ronggeng yang menggoda para tamu
lelaki.
“Ketika orang-orang
bergembira ria, nyanyi-nyanyi dan terbanagn di pendapa, juga halaman, para
ronggeng menari menggoda lelaki, aku harus disiksa menunggui sang pengantin.
Para perempuan sibuk menyiapkan makanan dan minuman, sedangkan para lelaki
sibuk berbincang. Sementara centhini menunggui pengantin hingga pagi” (CMMSP, 2011-50)
Unduh pengantin adalah upacara pengantin yang
dipestakan. Tetapi acara itu telah lama hilang, karena faktor ekonomi, karena
harus dilakukan secara bergantian dari kedua keluarga. Acara pernikahan
disertai dengan pranata yang sering dilakukan dengan kebudayaan Jawa 1) sungkem
pada ibu, 2) upacara resepsi, 3) pasrah pengantin pria, 4) prayagya pengantin
wanita, 5) ular-ular pemuka masyarakat, 60 wejangan sesepuh. (Purwadi,
2010;12-133).
2.
Hiasan
janur kuning pada pesta pernikahan
“Bukan hanya hiasan
janur kuning, tetapi aneka pajangan ditata begitu rupa, hiasa aneka kertas
mengitari pinggir-pinggir pendapa. Indah sekali” (CMMSP, 2011:149)
Pernikahan yang sarat akan budaya selalu
menggunakanan hiasan janur kuning, sebagai tanda hajatan pernikahan dalam
keluarga tersebut. Agar tetangga berdatangan memberikan doa. Ada berbagai macam
hidangan yang disuguhkan untuk tamu. Jodangan berisi berbagai macam
buah-buahan, makanan tradisional yang dibawakan oleh keluarga mempelai putra
dan sanakkeluarga kedua pengantin. Beberapa hal tersebut merupakan kewajiban sosial,
baik peserta pesta atau tidak harus mengikuti pesta, mulai persiapan hingga
berakhirnya bergantung kemampuan (Purwadi, 2007:244)
b. Pranata sosial
Pranata sosial adalah suatu
system tata kelakuan dalam hubungan yang berpusat kepada aktifitas aktivitas
untuk memenuhi berbagai kebutuhan khusus dalam masyarakat. http://sosiologismancis.blogspot.com//04/08/2017/pranata.acara. Pranata sosial yang
muncul yaitu Pranata keluarga dan pranata agama.
1.
Pranata
keluarga yang muncul yaitu seorang istri melayani suaminya, dalam keluarga
tidak boleh mengumbar aib keluarga, apalagi aib suami atau istri. Keluarga
adalah satuan kekerabatan yang sangat mendasar di masyarakat. Satuan
kekerabatan yang muncul disebabkan adanya perkawinanatau keturunan.
“Jangan sekali-kali
berani berkata sembarangan, apalagi membantah. Karena itu akan membuat kita
kehilangan rasa hormat. Itu bukan ciri manusia yang mulia. Jangan pula membuka
rahasia rumah tangga kepada siapa pun, karena itu merendahkan derajat kita.
Serendah-rendahnya. (CMMSP, 2011-65).
2.
Pranata
agama yang muncul yaitu dilakukan shalat berjamaan setelah itu melakukan
pengajian bersama. Agama adalah ajaran atau system yang mengatur keimanan dan
keperibadatan kepada Tuhan Yang Maha kuasaserta mencakup pula tata kaidah yang
berhubungan dengan pergaulan antarmanusi dan antara manusis dengan
lingkungannya.
“Sekarang, waktunya
kita semua kembali, adzan magrib telah memanggil. Nanti, habis isya’, semoa
kami mohonkan untuk datang kemari, sekali lagi untuk merasakan kebahagiaan sang
pengantin itu…” (CMMSP, 2011-116)
c. Mitos
Menurut Wellek dan
Warren (1995:243) Mitos adalah bagian dari ritual yang diucapkan, cerita yang
diperagakan oleh ritual. Dalam suatu masyarakat, ritual dilakukan oleh
pemuka-pemuka agama untuk menghindarkan bahaya atau mendatangkan keselamatan.
Ritual adalah ‘cara’ yang selalu dan setiap kali diperlukan, misalnya berkaitan
panen, kesuburan, inisiasi anak muda kedalam kebudayaan masyarakat dan
kematian. Tetapi dalam pengertian yang luas, mitos berarti cerita-cerita anonim
mengenal asal muasal alam semesta dan nasib serta tujuan hidup:
penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh suatu masyarakat kepada anak-anak
mereka mengenai dunia, tingkah laku manusia, citraan alam dan tujuan hidup
manusia. Penjelasan-penjelasan ini bersifat mendidik.
Bentuk-bentuk mitos
dalam novel Centhini 40 Malam adalah:
1.
Mitos
Agama
a.
Bulan
Maulid adalah bulan yang baik untuk hajatan
“Acara unduh mantu
memang tidak semeriah di rumah Ki Jayengraga. Itu semua tentu tergantung pada
kemauan tuan rumah. Namun, karena ini juga bulan mauled, acara unduh pengantin
ini juga diisi dengan pengajian mauludan. Bulan ini adalah bulan kelahiran
kanjeng Nabi Muhammad. Bagi orang-orang Wanamarta, ada banyak acara menyambut
bulan ini.
Belum lagi, penduduk
desa Wanamarta juga meyakini bahwa ini adalah bulan baik untuk hajatan
keluarga. Seperti pengantin, tetesa, atau sunatan” (CMMSP, 2011:114-115)
b.
Orang
yang berilmu tinggi mendatangkan keberkahan. Syekh Amongraga (orang yang alim dan berilmu tinggi) setelah datang
ke desa Wanamarta, desa ini menjadi hidup, tidak ada orang yang berjudi, dan
suara adzan terdengar bersahut-sahutan.
“Perlahan, kehadiran
Syekh Amongraga dianggap merupaka berkah bagi Wanamarta. Ada banyak perubahan
terjadi, dan itu semua aku bias pastikan, karena pengaruh dari Syekh Amongraga”
(CMMSP, 2011:418)
c.
Kelahiran
dan kematian. Bahwa ada kehidupan yang diciptakan Tuhan pastilah ada kematian,
yaitu kembali pada Tuhan.
“Dalam tiga kali empat
puluh hari, alam arwah akan turun menjelma, mengetal dalam daging, dalam
pangkuan Rahim, dalam empat warna kehidupan. Karenanya dalam laku hidup ini,
segalanya mestinya dimengerti, dipelajari dan dikuasai.” (CMMSP, 2011:448)
2.
Mitos
Sosial
a.
Nasib
manusia ditentukan berdasarkan keturunan. Keturunan seorang pembesar akan
menjadi seorang pembesar. Keturunan seorang centhi akan menjadi seorang centhi
pula.
“ Karena orang tuaku,
tepatnya simbokku, hanyalah seorang centhi, seolah, nasib manusia telah
ditetapkan berdasarkan keturunan. Siapa orang tuanya, begitu pulalah anaknya”
(CMMSP, 2011:46)
b.
Malam
pertama pengantin harus dijaga agar tidak ada setan yang menggoda manusia.
Karena pada saat itu sepasang pengantin sedang beribadah, dan setan yang
membenci manusia akan menggoda manusia agar berbuat maksiat kepada Tuhan.
“Mereka percaya bahwa
malam pertama pengantin harus dijaga hingga subuh tiba. Agar selamat sejahtera.
Agar para iblis jalil laknat tidak mengganggu manusia. Karena itu, tidak hanya
dijaga dengan hiburan, agar setan terlena dan lupa pada tugas menggoda. Tetapi
juga dijagai dengan suluk dan mantra-mantra” (CMMSP, 2011:66)
3.
Nilai budaya
Sistem nilai budaya
menurut Djamaris (1993: 2) dapat dikelompokkan berdasarkan lima kategori
hubungan manusia yaitu:
a. Nilai budaya dalam
hubungan manusia dengan Tuhan.
Bahwa ada kehidupan yang diciptakan Tuhan
pastilah ada kematian, yaitu kembali pada Tuhan.
“Dalam
tiga kali empat puluh hari, alam arwah akan turun menjelma, mengetal dalam
daging, dalam pangkuan Rahim, dalam empat warna kehidupan. Karenanya dalam laku
hidup ini, segalanya mestinya dimengerti, dipelajari dan dikuasai.” (CMMSP,
2011:448)
b. Nilai budaya dalam hubungan dengan alam.
Hiasan janur kuning pada pesta pernikahan
“Bukan
hanya hiasan janur kuning, tetapi aneka pajangan ditata begitu rupa, hiasa
aneka kertas mengitari pinggir-pinggir pendapa. Indah sekali” (CMMSP, 2011:149)
c. Nilai budaya dalam
hubungan manusia dengan manusia lain.
Setelah melaksanakan
ijab qobul, selanjutnya dilakukan resepsi pernikahan. Dilanjutkan dengan unduh
mantu di kedua kelarga besar.
“Sedari
pagi, di rumah Ki Jayengraga sudah riuh-rendah. Hari ini, pengantin Syekh
Amongraga-Tambangraras akan diunduh-nya. Itu artinya, para pasukan dapur akan
bertempur kembali. Menyiapkan masakan aneka serba enak dan mewah” (CMMSP,
2011-77).
d. Nilai budaya dalam hubungan
manusia dengan masyarakat.
Syekh Amongraga (orang yang alim dan berilmu tinggi) setelah
datang ke desa Wanamarta, desa ini menjadi hidup, tidak ada orang yang berjudi,
dan suara adzan terdengar bersahut-sahutan.
“Perlahan,
kehadiran Syekh Amongraga dianggap merupaka berkah bagi Wanamarta. Ada banyak
perubahan terjadi, dan itu semua aku bias pastikan, karena pengaruh dari Syekh
Amongraga” (CMMSP, 2011:418)
e. Nilai budaya dalam
hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
Keturunan seorang
pembesar akan menjadi seorang pembesar. Keturunan seorang centhi akan menjadi
seorang centhi pula.
“
Karena orang tuaku, tepatnya simbokku, hanyalah seorang centhi, seolah, nasib
manusia telah ditetapkan berdasarkan keturunan. Siapa orang tuanya, begitu
pulalah anaknya” (CMMSP, 2011:46)
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan tersebut
dapat disimpulkan bahwa: 1. Struktur cerita Centhini:40 Malam Mengintip sang
pengantin adalah Amongraga seorang Syekh yang menikahi Tambangraras.
Malam-malam pengantin merekaa ditunggui oleh seorang Centhini (pembantu) sampai
40 malam. 2. Bentuk budaya dalam novel CMMSP adalah a) adat istiadat, b)
pranata social, dan c) mitos. 3. Nilai budaya: a) Nilai budaya dalam hubungan
manusia dengan Tuhan. Bahwa ada kehidupan yang diciptakan Tuhan pastilah ada
kematian, yaitu kembali pada Tuhan. b) Nilai budaya dalam hubungan dengan alam.
Hiasan janur kuning pada pesta pernikahan. c) Nilai budaya dalam hubungan
manusia dengan manusia lain. Setelah melaksanakan ijab qobul, selanjutnya
dilakukan resepsi pernikahan. Dilanjutkan dengan unduh mantu di kedua kelarga
besar. d) Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat. Syekh
Amongraga (orang yang alim dan berilmu
tinggi) setelah datang ke desa Wanamarta, desa ini menjadi hidup, tidak ada
orang yang berjudi, dan suara adzan terdengar bersahut-sahutan. e) Nilai budaya
dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Keturunan seorang pembesar akan
menjadi seorang pembesar. Keturunan seorang centhi akan menjadi seorang centhi
pula. Berdasarkan penelitian ini, diharapkan dapat bermaanfaat bagi kebudayaan
Jawa. Serta dapat melestarikan kebudayaan Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Djamaris, Edwar. 1993. Sastra Daerah di Sumatra: Analisis Tema, Amanat, dan
Nilai Budaya. Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud.
Jabrohim. 2002. Metodologi Penelitian Sastra.
Yogyakarta: PT. Hanidita Graha Widya.
Koentjoroningrat.
2009. Pengantar Ilmu antropologi.
Jakarta:Rineka Cipta.
Purwadi, M. Hum. 2007.
Ensiklopedi Adat Istiadat Budaya Jawa.
Jogjakarta: Panji Pustaka
Purwadi, M.Hum, dan
Enis Niken. 2010. Upacara Pengantin Jawa.
Jogjakarta: Panji Pustaka
Rachmawati, Charis.
2008. Mitos dan enkulturasi dalam novel
Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan pendekatan Antropologi Sastra.
Universitas Semarang.
Ratna, Nyoman Kutha.
2011. Antropologi Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Wellek, Rene dan
Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan.
Jakarta:PT. Gramedia.
Wirodono, Sunardian.
2010. Centhini:40 Malam Mengintip Sang
Pengantin. Jogjakarya:DIVA Press.
No comments:
Post a Comment