Tuesday, October 2, 2018

NILAI BUDAYA PADA NOVEL CENTHINI:40 MALAM MENGINTIP SANG PENGANTIN KARYA SUNARDIAN WIRODONO (KAJIAN ANTROPOLOGI SASTRA)


     NILAI BUDAYA PADA NOVEL CENTHINI:40 MALAM MENGINTIP SANG PENGANTIN KARYA SUNARDIAN WIRODONO                              (KAJIAN ANTROPOLOGI SASTRA)

Kiki Astrea, M.Pd.

Universita Islam Darul Ulum Lamongan

astrea.kiki@yahoo.com 





Abstract



Literary antropology is the study of literature with human relevance. This study examines the culture of Jawa in the novel Centhini:40 Night peek of the Wedding. . In addition, this study also seeks the of value customs, social organisation, and myth in the novel Centhini:40 Night peek of the Wedding. The research method using descriptive analytical methof  of hermeneutics. Source of data used is novel Centhini:40 Night Peek of the Wedding by. Sunardian Wirodono. The data used is in the form of words, phrases, clauses, sentences and paragraphs in the novel. The collection of data by specifying the object and the analysis data. Metode identification to the preparation, gathering the data that has been selected. Last group the data and data analysis. Value customs in this research namely the myth of human destiny is determined by heredity, meaning thet the fate of a person accordance with the offspring, if the parents are kings and will he became king, if his parents were slaves than he will be a slave.

Abstrak

Antropologi sastra merupakan studi mengenai karya sastra dengan relevansi manusia. Penelitian ini berusaha mengkaji kebudayaan Jawa dalam novel Centhini: 40 Malam Mengintip Sang Pengantin. Selain itu, penelitian ini akan mendeskripsikan nilai-nilai dalam kebiasaan atau adat istiadat, pranata sosial, serta mitos dalam novel Centhini: 40 Malam Mengintip Sang Pengantin. Pendekatan deskriptif analitik hermeneutic. Sumber data yang digunakan adalah novel Centhini: 40 Malam Mengintip Sang Pengantin Karya Sunardian Wirodono. Data yang digunakan berupa kata, frasa, klausa, kalimat dan paragraph dalam novel. Pengumpulan data dengan menentukan objek dan dengan identifikasi data. Metode analisis data dengan mengolah, mengumpulkan data dan analisis data yang akan disajikan. Nilai-nilai budaya yang muncul adalah mitos nasib manusia ditentukan berdasarkan keturunan, jika orang tuanya adalah raja maka dia akan menjadi raja, jika orang tuanya adalah budak maka dia akan menjadi budak.

Kata Kunci: Antropologi Sastra, Nilai Budaya, Centhini:40 Malam Mengintip Sang Pengantin Karya Sunardian Wirodono. 



PENDAHULUAN

Kebudayaan menjadi hal yang menarik dalam karya sastra karena nilai keindahannya. Kebudayaan berasal darii kata sangsekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi dan akal. Dengan demikian kebudayaan diartikan: “hal-hal yang bersangkutan dengan akal” (Koentjoroningrat, 2009:146). Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan sastra Indonesia. Hamper seluruh sastra yang popular berisi kebudayaan Indonesia, maupun perbandiangan antara kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan asing.

Kebudayaan Indonesia, khususnya kebudayaan Jawa sangat menarik untuk dilakukan penelitian berdasarkan antropologi sastra. Kebudayaan Jawa sedikit banyak tidak ditinggalkan oleh masyarakat, sehingga perkembangannya sangat menarik untuk dilakukan sebuah penelitian. Antropologi sastra adalah studi mengenai karya sastra dengan relevansi manusia (anthropos). Dengan melihat pembagian antropologi menjadi dua macam, yaitu antropologi fisik dan antropologi kultural, maka antropologi dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi kultural dengan karya-karya yang dihasilkan manusia, seperti, bahasa, religi, mitos, sejarah, hukum, adat-istiadat, dan karya seni khususnya karya sastra.

            Hubungan antropologi sastra dengan kebudayaan sama seperti sastra dengan budaya. Karya sastra selalu berhubungan dengan budaya. Setiap karya sastra selalu mengangkat budaya sebagai fokus dalam cerita, baik dalam cerpen, novel, drama yang terjadi pada zaman dulu maupun sekarang.

Penelitian menggunakan kajian antropologi sastra pernah dilakukan oleh Charis Rachmawati. 2008. Dengan judul  Mitos dan enkulturasi dalam novel Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan pendekatan antropologi sastra. Universitas Semarang. Penelitian ini mengkaji makna ceritera dari kombinasi dan analisis miteme, hasil penelaah masyarakat terhadap mitos. Berbeda dengan penelitian tersebut.

            Dengan demikian penelitian ini memiliki tiga rumusan masalah: 1) bagaimana struktur Novel Centhini:40 Malam Mengintip sang Pengantin Karya Sunardian Wirodono?; 2) bagaimana bentuk budaya masyarakat Jawa dalam novel Centhini:40 Malam Mengintip Sang Pengantin Karya Sunardian Wirodono?; dan 3) bagaimana nilai budaya masyarakat Jawa dalam Novel Centhini:40 Malam Mengintip?. Sang Pengantin Karya Sunardian Wirodono. Diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat dan melestarikan kebudayaan Jawa.



TEORI

Antropologi sastra adalah analisis dan pemahaman karya sastra dalam kaitannya dengan kebudayaan. Dalam perkembangan berikut definisi tersebut dilanjutkan dengan pemahaman dalam perspektif kebudayaan yang lebih luas. Perkembangan yang dimaksud juga mengikuti perkembangan sosiologi sastra yang semula hanya berkaitan dengan masyarakat yang ada dalam karya sastra kemudian meluas pada masyarakat sebagai latar belakang penciptaan sekaligus penerimaan. Karya sastra dengan demikian bukan refleksi, bukan semata-mata memantulkan kenyataan, melainkan merefraksikan, membelokkannya sehhingga berhasil mengevokasi keberagaman budaya secara lebih bermakna. Dalam hubungan ini akan terjadi hubungan timbal bali, keseimbangan yang dinamis antara kekuatan aspek sastra dengan antropologi itu sendiiri. Bahkan, dalam analisis yang baik, seolah-olah tidak bias dikendalikan lagi apakah yang dibicarakan termasuk satra atau antropologi (Ratna, 2011:31)

Isu mengenai antropologi sastra pertama kali muncul tahun 1977 Poyatos (dalam Ratna, 2011:33) melalui kongres “ Folklor and Literary antropologi” yang berlangsung di Calcutta. Lahirnya model antropologi sastra dipicu oleh tiga sebab utama, yaitu: 1) baik sastra maupun antropologi menganggap bahasa sebagai obyek penting; 2) kedua disiplin mempermasalahkan manusia budaya; dan 3) kedua disiplin juga mempermasalahkan tradisi lisan, khususnya cerita rakyat dan mitos.

Karya sastra dengan masalah nilai budaya sangat menarik dianalisis dari segi antropologi sastra. Berbagai analisis antropologi sastra yang dilakukan Levi-Strauss didasarkan model linguistik jelas menandai hubungan yang tak terpisahkan antara bahasa, sastra dan budaya. Salah satu aspek kebudayaan yang menarik minat para pemerhati antropologi  sastra adalah arkepite dan atau citra primordial.

Menurut antropologi, “kebudayaan” adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dalam belajar. Dalam hal tersebut berarti seluruh tindalakan manusia adalah ‘kebudayaan’ karena hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar, yanitu hanya beberapa tindakan naluri, beberapa reflex, beberapa tindakan akibat proses fisiologi, atau kelakuan membabi buta. Bahkan berbagai tindakan manusia merupakan kemampuan naluri yang terbawa dalam gen bersama kelahirannya (seperti minum, makan atauberjalan dengan kedua kakinya), juga dirombak menjadi tindakan kebudayaan (Koentjoroningrat, 2009:144-145).

Sebagaimana kebudayaan Indonesia lainnya, masyarakat Jawa memiliki aturan dalam bermasyarakat dan dalam mengatur kehidupan sosialnya, baik dengan tradisi-tradisi yang bersifat religious maupun kejawen. Tradisi yang bersifat religious banyak ditemui dan masih dilakukan oleh masyarakat kejawen. Seperti, sedekah bumi, sedekah laut, ngeruwatan, dan upacara-upacara lainnya. Masing-masing tradisi memiliki nilai budaya yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat budaya.



Nilai budaya merupakan konsep-konsep dalam pikiran sebagai warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Kesadaran itu mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan. Nilai-nilai itu secara tidak sengaja akan terbentuk dalam masyarakat dan nilai-nilai itu akan dijadikan panutan dari satu generasi ke generasi berikutnya sehingga dianggap menjadi sesuatu yang sangat berarti dan bernilai.

Sistem nilai budaya menurut Djamaris (1993: 2) dapat dikelompokkan berdasarkan lima kategori hubungan manusia yaitu: (1) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan, (2) nilai budaya dalam hubungan dengan alam, (3) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan manusia lain, (4) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat, dan (5) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri.



METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik kualitatif. Penelitian menurut Jabrohim (2002:1) adalah suatu kegiatan atau proses semantic untuk memecahkan masalah dengan dukungan data sebagai landasan mengambil kesimpulan. Penelitian ini menggunakan metode hermeneutika dan deskriptif analitik. Metode analisis data dengan mengolah, mengumpulkan data dan analisis data yang akan disajikan. Data-data yang telah dijelaskan sebelumnya dan akan ditarik sebuah simpulan dari temuan-temuan yang telah ditemukan dari proses analisis. Prosedur ini mencirikan bahwa penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah Novel Centhini:40 Malam Mengintip Sang pengantin Karya Sunardian Wirodono. Data penelitian ini adalan kata, Frasa, klausa, kalimat dan paragraph dalam novel Centhini:40 Malam Mengintip Sang Pengantin.



HASIL DAN PEMBAHASAN

1.      Struktur Novel

Wajah Sultan Agung hanyalah kemarahan. Beliau ingin menghancurkan Kesunanan Giri. Karena Sunan Giri adalah keturunan seorang Hindu. Sedangkan Sunan Giri ingin mempertahankan kesunanan hingga titik penghabisan, namun Amongraga yang awalnya bernama Jayengresmi dan kedua adiknya sama sekali tidak bisa membantah. Kesunanan Giri-pun runtuh oleh Mataram, Sunan Giri ditangkap dan dibawa ke Mataram. Sedangkan Jayengresmi, Jayengsari dan Rancangkapti melarikan diri dan berpisah diperjalanan. Jayengresmi akhirnya sampai di desa Wanamarta. Dia berguru pada seorang kyai sampai ia benar-benar menjadi seorang kyai dan ia segera meminta ijin pada gurunya untuk mencari kedua adiknya, yaitu Jayengsari dan Rancangkapti. Untuk itu dia mengganti nama menjadi Amongraga. Gurunya memerintahkan untuk menikahi putri pembesar desa Wanamarta, yaitu Tambangraras. Setibanya di Wanamarta, Amongraga menemui kyai Bayi Panutradan keluarga besar Tambangraras untuk meminangnya. Ki Bayi Panutra adalah ayahanda Tambangraras, beliau merupakan pembesar desa Wanamarta. Tambangraras adalah anak sulung dari tiga bersaudara, dan dialah satu-satunya yang belum menikah.

Amongraga dan Tambangraras menikah, sementara centhi ditugaskan untuk menemani Tambangraras dan menjaga malam-malam pengantin sampai 40 malam dan melaporkan apa saja yang terjadi pada malam tersebut. Apakah pengantin sudah melepas keintiman besama atau belum.

Centhini, demikian orang-orang menyebutku. Dan jangan tanyakan mengapa begitu, karena akupun hanya mendapatkan kesia-siaan ketika menanyakannya. Yang pasti dan mengki dari sana aku berasal. Aku seorang centhi, emban, alias PRT, pembantu rumah tangga. Aku seorang perempuan yang masih remaja. Sangat remaja. Aku mendapatkan tugas yang berat, tetapi istimewa, apa itu? Menunggui malam pertama Denayu Tambangraras. Kalau boleh aku bilang, Denayu Tambangraras sangat bergantung padaku.

Ketika orang-orang bergembira merayakan pernikahan, Centhini justru harus bertugas menjaga malam pengantin. Tambangraras berparas ayu, kulitnya lenir kuning dan memiliki tubuh yang bagus. Banyak lelaki yang datang melamar namu ditolaknya, ia bukan memilih lelaki yang kaya dan tampan, tetapi yang mampu menyayanginya sampai mati. Syekh amongraga pun tampan rupanya. Tubuhnya sempurna dan enak dipandang. Belum lagi tutur katanya santun. Budi pekertinya halus, rendah hati, namun berpengetahuan luas.

Malam pertama pengantin. Ketika orang-orang bergembira ria, nyanyi-nyanyi dan terbangun di pendapa, juga halaman, para ronggeng menari menggoda lelaki, aku harus disiksa menunggui sang pengantin. Para perempuan sibuk menyiapkan makanan dan minuman, sedangkan para lelaki sibuk berbincang. Sementara centhini menunggui pengantin hingga pagi.  Malam kedua para tamu berdatangan, mereka utusan dari Gresik, Tuban dan Rembang dengan membawa ubarampe dan bingkisan uang sebesar 84 anggris lebih tiga seka. Itu jumlah yang cukup besar, dan cukup untuk membeli sepuluh ekor sapi. Malam ketiga gamelan ditabuh, pengantin pun diunduh oleh sanak saudara pengantin lelaki. Pasukan dapur pun sibuk menyiapkan hidangan aneka yang serba enak. Pesta unduh pengantin dihadiri para tetamu dan menyumbang ubarampe. Sampai selesainya acara dan malam ini pun sepasang pengantin belum melepas hasrat mereka. Malam berikutnya acara unduh mantu pindah ke rumah adik Ki Bayi, yaitu Ki Panukma, dilanjutkan di rumah Ki Panamar, Ki Kulawirya, Ki Penghulu Basorudin. Dalam acara unduh pengantin seperti ini biasanya bias jadi arena jor-joran. Pamer kekayaan, pamer kuasa, pamer pengaruh.

Malam-malam berikutnya pun sama, Centhini menunggui pengantin hingga suara adzan subuh berkumandang. Mereka berjamaah, kemudian mengadangan ceramah dan mengaji bersama. Amongraga selalu memberikan ceramah bagi seluruh santri. Tambangraras pun menunggui suaminya. Tambangraras tetap seperti dulu, tak berubah sedikitpun. Dia terlihat lebih cantik. Para gadis yang telah menikah pastilah berubah menjadi lebih dewasa.

Hari-hari dalam keluarga Ki Bayi Panutra menjadi harmonis dan penuh dengan keberkahan. Centhi dan para santri menjadi semakin rajin berjamaah setelah kehadirah syekh Amongraga. Bukan hanya itu, bahkan masyarakat luas yang biasanya memenuhi jalanan dan warung untuk bermain kartu, sekarang berbondong-bondong berjamaah shalat, dan suara adzan terdengar bersahut-sahutan. Setiap selesai mengaji, santri dan centhi berebut meminum minuman sisa Syekh Amongraga dan mencium tangannya saat berjabat tangan. Hal itu dipercaya mendatangkan keberkahan bagi kehidupan manusia.

Upacara unduh mantu terus dilakukan sampai 40 hari, bergantian dari keluarga kedua pengantin. Pada bulan maulud merupakan bulan yang baik untuk mengadakan acara seperti unduh mantu, hitanan, sunatan. Di desa Wanamarta hajatan bulan ini berlangsung seperti bergilir. Pada bulan inilah dianggap bulan penuh berkah, karena merupakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.

Setiap malam centhi menunggui pengantin, namun taka da satu ceritapun yang dapat diceritakan. Setiap pagi dia hanya melihat seprei putih yang masih terlihat bersih putih. Centhini juga mengagumi Syekh Amongraga, dia berharap mendapatkan suami seperti Syekh Amongraga. Selagipun ada orang yang melamanya pasti bukan pria seperti Syekh Amongraga.

Syekh amongraga merasa nyaman menceritakan kehidupan masa lalunya kepada Centhini. Bahkan segala urusan kepergiannya yang setiap malam dirundingkan bersama Gothak dan Gathik, yaitu pendamping Syekh Amongraga saat di kesunanan Giri. Mereka yang membantu Amongraga dalam mencari kedua adiknya suatu hari nanti. Sementara itu Tambangraras hanya diberikan siraman rohani yang dirasanya akan memberikan keringanan batinnya saat ditinggalkan Amongraga.

Sementara Centhini tidak mengindahkan cerita amongraga, dia masih berkonsentrasi menunnggui kedua mempelai, apakah akan terjadi malam pengantinyang indah mala mini. Beberapa hari ini Centhini selalu tertidur saaat menjaga pengantin, karena pada malam hari ia sering didatangi Amongraga. Dalam hati Centhini, wanita yang sudah melepas keperawannya untuk suaminya pasti wajahnya akan bersinar.

Pagi itu setelah malam ke- 34, Denayu Tambangraras keluar dari kamar dengan wajah yang pucat memeluk Centhini, mungkinkah terjadi peraduan yang indah semalam. Dan benar saja wajah Tambangraras terlihat bersinar setelahnya. Hajatanpun dimulai dengan harapan sang pengantin mendapatkan janin yang akan menjadi anak sholeh.





Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama,karena pada suatu pagi, tiba-tiba Tambangraras bertanya pada Centhini “Apakah kamu melihat Syekh amongraga?” seketika itu Centhini berkata dalam hati “apakah ini sudah harinya?” semua orang panic mencari Syekh Amongraga. Ki Bayi Panutra bertanya pada Centhini “Apakah selama ini dia tidak pernah bicara apapun padamu?” Centhini bercerita bahwa Syekh Amongraga pernah bercerita bahwa ini adalah hari dimana dia akan mencari kedua adiknya. Tambangraras tak henti-hentinya menangis. Beginikah akhir verita itu, dia mengajarkan nilai-nilai kehidupan dan kematian.

Syekh amongraga menitipkan surat untu Tambangraras “Niken, tambangraras, aku mohon pamit padamu, karena mengabdi pada Hyang widi, tiada kekuatan yang mampu menengahnya, kupergi berkelana, mencari dua saudara mudaku, yang berpencar karena peperangan, ketika Mataram menyerang Kasunanan Giri. Entah dimana mereka kini akupun tak mengerti. Dinda aku harap kau taqorrub pada Hyang widi, pasrah menerima segala titah, jasadku biarlah serahkan pada allah, kepergianku ini tidak lama…”.

Berdasarkan cerita diatas, dapat disimpulkan struktur novel Centhini:40 Malam Mengintip Sang Pengantin yaitu:

1.      Tokoh :Syekh Amongraga, Tambangraras, Centhini, Ki Bayi Panutra.

2.      Setting : Kasunanan Giri, desa Wanamarta.

3.      Alur : dimulai dari Kasunanan Giri kemudian menuju ke desa Wanamarta (alur maju)

4.      Perwatakan: Syekh Amongraga merupakan tokoh berwatak protagonis, dia adalah seorah ahli ilmu agama yang pituturnya halus dan sopan. Tambangraras berwatak protagonis, dia adalah istri Syekh amongraga yang patuh terhadap suaminya. Centhini berwatak protagonis, pasrah terhadap nasib yang dimilikinya. Ki Bayi Panutra berwatak potagonis, menyerahkan pesantren kepada Syekh amongraga.

5.      Amanat: amanat yang muncul ada lebih dari satu, yaitu hidup harus berserah diri kepada yang Maha Kuasa. Sebagai seorang manusia, kita harus bertanggung jawab pada pekerjaan.

2.      Bentuk Budaya

a.       Adat istiadat

Adat istiadat adalah perilaku budaya dan aturan-aturan yang telah berusaha diterapkan dalam aturan masyarakat. Indonesia kaya akan kebudayaan, sebagai contoh salah satu peninggalan yang masih tampak pada masyarakat adalah adanya adat istiadat (Purwadi, 2007:12)

1.      Adat istiadat yang ada dalam novel Centhini 40 Malam ini adalah setelah melaksanakan ijab qobul, selanjutnya dilakukan resepsi pernikahan. Dilanjutkan dengan unduh mantu di kedua kelarga besar.

“Sedari pagi, di rumah Ki Jayengraga sudah riuh-rendah. Hari ini, pengantin Syekh Amongraga-Tambangraras akan diunduh-nya. Itu artinya, para pasukan dapur akan bertempur kembali. Menyiapkan masakan aneka serba enak dan mewah” (CMMSP, 2011-77).

Dalam sebuah acara selalu ada hidangan mewah, diiringi dengan suara tabuh gamelan, terbangan, dan ronggeng yang menggoda para tamu lelaki.

“Ketika orang-orang bergembira ria, nyanyi-nyanyi dan terbanagn di pendapa, juga halaman, para ronggeng menari menggoda lelaki, aku harus disiksa menunggui sang pengantin. Para perempuan sibuk menyiapkan makanan dan minuman, sedangkan para lelaki sibuk berbincang. Sementara centhini menunggui pengantin hingga pagi” (CMMSP, 2011-50)

Unduh pengantin adalah upacara pengantin yang dipestakan. Tetapi acara itu telah lama hilang, karena faktor ekonomi, karena harus dilakukan secara bergantian dari kedua keluarga. Acara pernikahan disertai dengan pranata yang sering dilakukan dengan kebudayaan Jawa 1) sungkem pada ibu, 2) upacara resepsi, 3) pasrah pengantin pria, 4) prayagya pengantin wanita, 5) ular-ular pemuka masyarakat, 60 wejangan sesepuh. (Purwadi, 2010;12-133).

2.      Hiasan janur kuning pada pesta pernikahan

“Bukan hanya hiasan janur kuning, tetapi aneka pajangan ditata begitu rupa, hiasa aneka kertas mengitari pinggir-pinggir pendapa. Indah sekali” (CMMSP, 2011:149)

Pernikahan yang sarat akan budaya selalu menggunakanan hiasan janur kuning, sebagai tanda hajatan pernikahan dalam keluarga tersebut. Agar tetangga berdatangan memberikan doa. Ada berbagai macam hidangan yang disuguhkan untuk tamu. Jodangan berisi berbagai macam buah-buahan, makanan tradisional yang dibawakan oleh keluarga mempelai putra dan sanakkeluarga kedua pengantin. Beberapa hal tersebut merupakan kewajiban sosial, baik peserta pesta atau tidak harus mengikuti pesta, mulai persiapan hingga berakhirnya bergantung kemampuan (Purwadi, 2007:244)

b.      Pranata sosial

Pranata sosial adalah suatu system tata kelakuan dalam hubungan yang berpusat kepada aktifitas aktivitas untuk memenuhi berbagai kebutuhan khusus dalam masyarakat. http://sosiologismancis.blogspot.com//04/08/2017/pranata.acara. Pranata sosial yang muncul yaitu Pranata keluarga dan pranata agama.

1.      Pranata keluarga yang muncul yaitu seorang istri melayani suaminya, dalam keluarga tidak boleh mengumbar aib keluarga, apalagi aib suami atau istri. Keluarga adalah satuan kekerabatan yang sangat mendasar di masyarakat. Satuan kekerabatan yang muncul disebabkan adanya perkawinanatau keturunan.

“Jangan sekali-kali berani berkata sembarangan, apalagi membantah. Karena itu akan membuat kita kehilangan rasa hormat. Itu bukan ciri manusia yang mulia. Jangan pula membuka rahasia rumah tangga kepada siapa pun, karena itu merendahkan derajat kita. Serendah-rendahnya. (CMMSP, 2011-65).

2.      Pranata agama yang muncul yaitu dilakukan shalat berjamaan setelah itu melakukan pengajian bersama. Agama adalah ajaran atau system yang mengatur keimanan dan keperibadatan kepada Tuhan Yang Maha kuasaserta mencakup pula tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan antarmanusi dan antara manusis dengan lingkungannya.

“Sekarang, waktunya kita semua kembali, adzan magrib telah memanggil. Nanti, habis isya’, semoa kami mohonkan untuk datang kemari, sekali lagi untuk merasakan kebahagiaan sang pengantin itu…” (CMMSP, 2011-116)

c.       Mitos

Menurut Wellek dan Warren (1995:243) Mitos adalah bagian dari ritual yang diucapkan, cerita yang diperagakan oleh ritual. Dalam suatu masyarakat, ritual dilakukan oleh pemuka-pemuka agama untuk menghindarkan bahaya atau mendatangkan keselamatan. Ritual adalah ‘cara’ yang selalu dan setiap kali diperlukan, misalnya berkaitan panen, kesuburan, inisiasi anak muda kedalam kebudayaan masyarakat dan kematian. Tetapi dalam pengertian yang luas, mitos berarti cerita-cerita anonim mengenal asal muasal alam semesta dan nasib serta tujuan hidup: penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh suatu masyarakat kepada anak-anak mereka mengenai dunia, tingkah laku manusia, citraan alam dan tujuan hidup manusia. Penjelasan-penjelasan ini bersifat mendidik.

Bentuk-bentuk mitos dalam novel Centhini 40 Malam adalah:

1.      Mitos Agama

a.       Bulan Maulid adalah bulan yang baik untuk hajatan

“Acara unduh mantu memang tidak semeriah di rumah Ki Jayengraga. Itu semua tentu tergantung pada kemauan tuan rumah. Namun, karena ini juga bulan mauled, acara unduh pengantin ini juga diisi dengan pengajian mauludan. Bulan ini adalah bulan kelahiran kanjeng Nabi Muhammad. Bagi orang-orang Wanamarta, ada banyak acara menyambut bulan ini.

Belum lagi, penduduk desa Wanamarta juga meyakini bahwa ini adalah bulan baik untuk hajatan keluarga. Seperti pengantin, tetesa, atau sunatan” (CMMSP, 2011:114-115)

b.      Orang yang berilmu tinggi mendatangkan keberkahan. Syekh Amongraga  (orang yang alim dan berilmu tinggi) setelah datang ke desa Wanamarta, desa ini menjadi hidup, tidak ada orang yang berjudi, dan suara adzan terdengar bersahut-sahutan.

“Perlahan, kehadiran Syekh Amongraga dianggap merupaka berkah bagi Wanamarta. Ada banyak perubahan terjadi, dan itu semua aku bias pastikan, karena pengaruh dari Syekh Amongraga” (CMMSP, 2011:418)

c.       Kelahiran dan kematian. Bahwa ada kehidupan yang diciptakan Tuhan pastilah ada kematian, yaitu kembali pada Tuhan.

“Dalam tiga kali empat puluh hari, alam arwah akan turun menjelma, mengetal dalam daging, dalam pangkuan Rahim, dalam empat warna kehidupan. Karenanya dalam laku hidup ini, segalanya mestinya dimengerti, dipelajari dan dikuasai.” (CMMSP, 2011:448)

2.      Mitos Sosial

a.       Nasib manusia ditentukan berdasarkan keturunan. Keturunan seorang pembesar akan menjadi seorang pembesar. Keturunan seorang centhi akan menjadi seorang centhi pula.

“ Karena orang tuaku, tepatnya simbokku, hanyalah seorang centhi, seolah, nasib manusia telah ditetapkan berdasarkan keturunan. Siapa orang tuanya, begitu pulalah anaknya” (CMMSP, 2011:46)

b.      Malam pertama pengantin harus dijaga agar tidak ada setan yang menggoda manusia. Karena pada saat itu sepasang pengantin sedang beribadah, dan setan yang membenci manusia akan menggoda manusia agar berbuat maksiat kepada Tuhan.

“Mereka percaya bahwa malam pertama pengantin harus dijaga hingga subuh tiba. Agar selamat sejahtera. Agar para iblis jalil laknat tidak mengganggu manusia. Karena itu, tidak hanya dijaga dengan hiburan, agar setan terlena dan lupa pada tugas menggoda. Tetapi juga dijagai dengan suluk dan mantra-mantra” (CMMSP, 2011:66)

3.      Nilai budaya

Sistem nilai budaya menurut Djamaris (1993: 2) dapat dikelompokkan berdasarkan lima kategori hubungan manusia yaitu:

a.       Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan.

 Bahwa ada kehidupan yang diciptakan Tuhan pastilah ada kematian, yaitu kembali pada Tuhan.

“Dalam tiga kali empat puluh hari, alam arwah akan turun menjelma, mengetal dalam daging, dalam pangkuan Rahim, dalam empat warna kehidupan. Karenanya dalam laku hidup ini, segalanya mestinya dimengerti, dipelajari dan dikuasai.” (CMMSP, 2011:448)

b.       Nilai budaya dalam hubungan dengan alam.

 Hiasan janur kuning pada pesta pernikahan

“Bukan hanya hiasan janur kuning, tetapi aneka pajangan ditata begitu rupa, hiasa aneka kertas mengitari pinggir-pinggir pendapa. Indah sekali” (CMMSP, 2011:149)

c.       Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan manusia lain.

Setelah melaksanakan ijab qobul, selanjutnya dilakukan resepsi pernikahan. Dilanjutkan dengan unduh mantu di kedua kelarga besar.

“Sedari pagi, di rumah Ki Jayengraga sudah riuh-rendah. Hari ini, pengantin Syekh Amongraga-Tambangraras akan diunduh-nya. Itu artinya, para pasukan dapur akan bertempur kembali. Menyiapkan masakan aneka serba enak dan mewah” (CMMSP, 2011-77).

d.      Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat.

Syekh Amongraga  (orang yang alim dan berilmu tinggi) setelah datang ke desa Wanamarta, desa ini menjadi hidup, tidak ada orang yang berjudi, dan suara adzan terdengar bersahut-sahutan.

“Perlahan, kehadiran Syekh Amongraga dianggap merupaka berkah bagi Wanamarta. Ada banyak perubahan terjadi, dan itu semua aku bias pastikan, karena pengaruh dari Syekh Amongraga” (CMMSP, 2011:418)

e.       Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri.

Keturunan seorang pembesar akan menjadi seorang pembesar. Keturunan seorang centhi akan menjadi seorang centhi pula.

“ Karena orang tuaku, tepatnya simbokku, hanyalah seorang centhi, seolah, nasib manusia telah ditetapkan berdasarkan keturunan. Siapa orang tuanya, begitu pulalah anaknya” (CMMSP, 2011:46)



  



PENUTUP

Berdasarkan pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa: 1. Struktur cerita Centhini:40 Malam Mengintip sang pengantin adalah Amongraga seorang Syekh yang menikahi Tambangraras. Malam-malam pengantin merekaa ditunggui oleh seorang Centhini (pembantu) sampai 40 malam. 2. Bentuk budaya dalam novel CMMSP adalah a) adat istiadat, b) pranata social, dan c) mitos. 3. Nilai budaya: a) Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan. Bahwa ada kehidupan yang diciptakan Tuhan pastilah ada kematian, yaitu kembali pada Tuhan. b) Nilai budaya dalam hubungan dengan alam. Hiasan janur kuning pada pesta pernikahan. c) Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan manusia lain. Setelah melaksanakan ijab qobul, selanjutnya dilakukan resepsi pernikahan. Dilanjutkan dengan unduh mantu di kedua kelarga besar. d) Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat. Syekh Amongraga  (orang yang alim dan berilmu tinggi) setelah datang ke desa Wanamarta, desa ini menjadi hidup, tidak ada orang yang berjudi, dan suara adzan terdengar bersahut-sahutan. e) Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Keturunan seorang pembesar akan menjadi seorang pembesar. Keturunan seorang centhi akan menjadi seorang centhi pula. Berdasarkan penelitian ini, diharapkan dapat bermaanfaat bagi kebudayaan Jawa. Serta dapat melestarikan kebudayaan Indonesia.





DAFTAR PUSTAKA



Djamaris, Edwar. 1993. Sastra Daerah di Sumatra: Analisis Tema, Amanat, dan Nilai Budaya. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud.


Jabrohim. 2002. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT. Hanidita Graha Widya.

Koentjoroningrat. 2009. Pengantar Ilmu antropologi. Jakarta:Rineka Cipta.

Purwadi, M. Hum. 2007. Ensiklopedi Adat Istiadat Budaya Jawa. Jogjakarta: Panji Pustaka

Purwadi, M.Hum, dan Enis Niken. 2010. Upacara Pengantin Jawa. Jogjakarta: Panji Pustaka

Rachmawati, Charis. 2008. Mitos dan enkulturasi dalam novel Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan pendekatan Antropologi Sastra. Universitas Semarang.

Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta:PT. Gramedia.

Wirodono, Sunardian. 2010. Centhini:40 Malam Mengintip Sang Pengantin. Jogjakarya:DIVA Press.










No comments:

Post a Comment