Sunday, January 6, 2019

PERSEPSI BAHASA


PEMBAHASAN



2.1 Penelitian Mengenai Persepsi Ujaran

Dari segi ilmu pengetahuan, kajian dan penelitian mengenai bagaimana manusia mempersepsi ujaran dapat dikatakan masih sangat baru. Penelitian mengenai bagaimana kita mempersepsi ujaran baru mulai menjelang Perang Dunia II (Gleason dan Ratner 1998).

Perkembangan penelitian di bidang ini mulai dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi terutama dengan terciptanya alat telepon. Pada tahun 1940-an perusahaan telepun ini ini mengembangkan spektograf, yakni, alat untuk merekam suara dalam bentuk garis-garis tebal-tipis dan panjang-pendek yang dinamakn spektogram. Kini teknologi sudah dapat mengetahui siapa pembicara dalam suatu rekaman dengan akurat.



2.2 Masalah dalam Mempersepsi Ujaran

Orang rata-ratanya dalam menggunakan bahasa Inggris mengeluarkan 125-180 kata tiap menit. Jumlah ini tentunya telah didasarkan pada kenyataan bahwa sebagian besar kata dalam bahasa inggris bersuku kata satu (book, go, eat,come, dsb). Untuk bahasa Indonesia pada umumnya bersuku kata dua atau lebih (makan, tidur, membawa, menyelesaikan) maka jumlah kata per menit yang diujarkan oleh orang Indonesia pastilah lebih kecil dari angka yang diujarkan oleh orang yang menggunakan bahasa Inggris, mungkin sekitar 80–110 kata.

Bunyi yang diujarkan jika dilihat jumlahnya, telah dipastikan bahwa untuk bahasa Inggris rata-ratanya 25-30 segmen bunyi (fonem) tiap detik (Ratner dan Gleason 1998). Karena bunyi dalam bahasa manapun sifatnya sama, maka dapat diduga bahwa orang Indonesia pun mengeluarkan jumlah bunyi yang sama setiap detiknya, yakni antara 25-30 bunyi. Dengan demikian, tiap kali kita berbicara satu menit kita akan mengeluarkan sebanyak 1500-1800 bunyi.

Masalah yang dihadapi adalah bagaimana kita dapat menangkap dan kemudian mencerna bunyi-bunyi yang diujarkan. Bunyi dalam suatu ujaran juga tidak diucapkan secara utuh tetapi seperti lebur dengan bunyi yang lain. Suara seorang wanita, seorang pria serta seorang anak juga berbeda. Getar pita suara untuk wanita berkisar antara 200-300 perdetik, sedangkan untuk pria hanya sekitar 100. Perbedaan inilah yang akan memunculkan bunyi-bunyi yang berbeda, meskipun kata yang diujarkan itu sama. Seperti kata tidur tidak akan sama bunyinya jika diucapkan oleh seorang pria, wanita, dan juga anak.



2.3 Mekanisme Ujaran

Semua bunyi yang dibuat dengan udara melalui hidung disebut bunyi nasal. Sementara itu, semua bunyi yang udaranya keluar melewati mulut dinamakan bunyi oral. Pada mulut terdapat dua bagian: bagian atas dan bagian bawah mulut. Bagian atas mulut umumnya tidak bergerak sedangkan bagian bawah mulut bisa digerakkan. Bagian-bagian ini adalah sebagai berikut:

•Bibir: bibir atas dan bibir bawah. Kedua bibir ini dapat dirapatkan untuk membentuk bunyi yang dinamakan bilabial yang artinya dua bibir bertemu. Bunyi seperti (p), (b) dan (m) adalah bunyi bilabial.

•Gigi: untuk ujaran hanya gigi ataslah yang mempunyai peran. Gigi ini dapat berlekatan dengan bibir bawah untuk membentuk bunyi yang dinamakan labiodental. Contohnya adalah (f) dan (v). Gigi juga bisa berlekatan dengan ujung lidah untuk membentuk bunyi dental seperti bunyi (t) dan (d) dalam bahasa Indonesia.

•Alveolar: daerah ini berada dibelakang pangkal gigi atas. Ujung lidah dapat ditempelkan pada alveolar yang menghasilkan bunyi (t) dan (d) dalam bahasa Inggris.

•Palatal keras: daerah ini ada di rongga atas mulut, persis diblakang daerah alveolar. Pada daerah ini dapat ditempelkan bagian depan lidah untuk membentuk bunyi yang dinamakan alveopalatal seperti bunyi (c) dan (j).

•Palatal lunak: daerah ini ada dibelakang rongga mulut atas. Pada daerah itu dapat dilekatkan bagian belakang lidah untuk membentuk bunyi yang dianmakan velar seperti bunyi (k) dan (g).

•Uvula: pada ujung rahang atas terdapat tulang lunak yang dinamakan uvula. Uvula dapat digerakkan untuk menutup saluran ke hidung atau membukanya. Bila uvula  tidak berlekatan dengan bagian atas laring maka buni udara keluar melalui hidung. Bunyi inilah yang dinamakan bunyi nasal. Bila uvula berlekatan dengan dinding laring maka udara disalurkan melalui mulut dan menghasilkan bunyi oral.

•Lidah: lidah adalah bagian mulut yang fleksibel, ia dapat digerakkan dengan lentur. Lidah memiliki bagian-bagian, yaitu ujung lidah, mata lidah, depan lidah, dan belakang lidah.

•Pita suara: pita suara adalah sepasang selaput yang berada di jakun. Status selaput suara ini ikut menentukan perbedaan antara satu konsonan dengan konsonan yang lain.

•Faring: saluran udara menuju ke rongga mulut atau rongga hidung.

•Rongga hidung: rongga untuk bunyi-bunyi nasal seperti /m/ dan /n/.

•Rongga mulut: untuk bunyi-bunyi oral seperti /p/, /b/, /a/, dan /i/.



2.4  Persepsi Terhadap Ujaran

Persepsi terhadap ujaran bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan oleh manusia karena ujaran merupakan suatu aktivitas verbal yang meluncur tanpa ada batas waktu yang jelas antara satu kata dengan kata yang lain. Perhatikan tiga ujaran berikut : (a) Bukan angka, (b) Buka nangka, (c) Bukan nangka. Meskipun ketiga ujaran ini berbeda maknanya satu dari yang lain, dalam pengucapannya ketiga bentuk ujaran ini bisa sama

Suatu bunyi juga tidak diucapkan secara persis sama tiap kali bunyi itu muncul. Bagaimana suatu bunyi diucapkan dipengaruhi oleh lingkungan dimana bunyi itu berada. Bunyi (b) pada kata buru, misalnya tidak persis sama dengan bunyi (b) pada kata biru. Pada kata buru bunyi /b/ dipengaruhi oleh bunyi /u/ yang mengikutinya sehingga sedikit banyak ada unsur pembundaran bibir. Sebaliknya, bunyi yang sama ini akan diucapkan dengan bibir yang melebar pada kata biru karena bunyi /i/ merupakan bunyi vokal depan dengan bibir melebar.

Namun demikian, manusia tetap saja dapat mempersepsi bunyi-bunyi bahasanya dengan baik. Tentu saja persepsi seperti ini dilakukan melalui tahap-tahap tertentu. Pada dasarnya ada tiga tahap dalam pemrosesan persepsi bunyi (Clark & Clark, 1977).

1.Tahap auditori : manusia menerima sepotong-sepotong ujaran dan kemudian menyimpan bunyi-bunyi ujaran itu dalam memori auditori.

2.Tahap fonetik : mengidentifikasi bunyi-bunyi, kemudian menyimpan bunyi-bunyi tersebut dalam memori fonetik.

3.Tahap Fonologis : pada tahap ini mental menerapkan aturan fonologis pada deretan bunyi yang kita dengar untuk menentukan apakah bunyi-bunyi itu telah mengikuti aturan fonotaktik dalam bahasa kita.



2.5 Model-Model Untuk Persepsi

2.5.1 Model Teori Motor untuk Persepsi Ujaran

Model Teori Motor untuk Persepsi Ujaran (Motor Theory of Speech Perseption), menyatakan bahwa manusia mempersepsi bunyi dengan memakai acuan seperti pada saat dia memproduksi bunyi itu (Liberman dkk 1967 dalam gleason dan Ratner, 1998). Bunyi yang diucapkan dipengaruhi oleh bunyi-bunyi lain disekitarnya. Namun, bunyi itu akan tetap merupakan fonem yang sama, meskipun wujud fonetiknya berbeda. Persamaan ini disebabkan oleh artikulasinya yang sama pada waktu mengucapkan bunyi tersebut. Jadi, meskipun bunyi /b/ pada kata /buka/ dan /bisa/ tidak persis sama dalam pengucapannya, kedua bunyi ini tetap saja dibuat dengan titik dan cara artikulasi yang sama. Dengan demikian, seorang penutur akan menganggap kedua bunyi ini sebagai dua kata alofon dari satu fonem yang sama, yakni fonem /b/. Dengan kata lain, meskipun kedua bunyi itu secara fonetik berbeda, kedua bunyi ini akan dipersepsi sebagai satu bunyi yang sama.

Penentuan suatu bunyi itu bunyi apa didasarkan pada persepsi si pendengar yang seolah-olah membayangkan bagaimana bunyi itu dibuat, seandainya dia sendiri yang mengujarkannya.

2.5.2Model Analisis dengan Sintesis

Manusia bervariasi dalam ujaran mereka, tergantung pada berbagai faktor seperti keadaan kesehatan, keadaan sesaat (gembira atau sedih), dan keadaan alat ujar (sedang merokok atau tidak). Dengan demikian, kalau kita hanya menggantungkan pada fitur akustiknya saja, maka sebuah kata bisa saja memiliki banyak bentuk yang berbeda-beda. Karena itu, diajukanlah suatu model yang dinamakan Model Analisis dengan Sintesis (Analiysis-by-Synthesis).

Dalam model ini dinyatakan bahwa pendengar mempunyai sistem produksi yang dapat mensintesiskan bunyi sesuai dengan mekanisme yang ada padanya (Stevens 1960, Stevens dan Halle 1967, dalam Gleanson dan Retner 1998). Waktu dia mendengar suatu deretan bunyi, dia mula-mula mengadakan analisis terhadap bunyi-bunyi itu dari segi fitur distingtif yang ada pada masing-masing bunyi itu. hasil dari analisis ini dipakai untuk memunculkan atau mensintesiskan suatu ujaran yang kemudian dibandingkan dengan ujaran yang baru dipersepsi. Bila antara ujaran yang dipersepsi dengan ujaran yang disintesiskan itu cocok maka terbentuklah persepsi yang benar. Bila tidak, maka dicarilah lebih lanjut ujaran-ujaran lain untuk akhirnya ditemukan ujaran yang cocok.

Sebagai contoh, bila penutur bahasa Indonesia mendengar deretan bunyi /pola/ mala mula-mula dianalisislah ujaran itu dari segi fitur distingtifnya – dimulai dengan /p/ yang difitur [+konsonantal], [-kontinuan], [+tak-vois], dsb. Proses ini berlanjut untuk bunyi /o/, dan seterusnya. Setelah semuanya selesai, disintesislah ujaran itu untuk memunculkan bentuk-bentuk yang mirip dengan itu seperti kata /mula/, kemudian /pula/, lalu /kola, /bola/ ... sampai akhirnya ditemukan deretan yang persis sama, yakni /pola/. Baru pada saat itulah deretan dipersepsi dengan benar.

2.5.3Fuzzy Logical Model

Menurut model ini (Massaro, 1987, 1989) persepsi ujaran terdiri dari tiga proses: evaluasi fitur, integrasi fitur, dan kesimpulan. Dalam model ini ada bentuk prototipe, yakni bentuk yang memiliki semua nilai ideal yang ada pada suatu kata, termasuk fitur-fitur distingtifnya. Informasi dari semua fitur yang masuk dievaluasi, diintegrasi dan kemudian dicocokkan dengan deskripsi dari prototipe yang ada pada memori kita. Setelah dicocokkan lalu diambil kesimpulan apakah masukan tadi cocok dengan yang terdapat pada prototipe.

Sebagai misal, bila kita mendengar suku yang berbunyi /ba/ maka kita mengaitkannya dengan suku kata ideal untuk suku ini, yakni semua fitur yang ada pada konsonan /b/ maupun vokal /a/. Evaluasi fitur menilai derajat kesamaan masing-masing fitur dari prototipe kita. Evaluasi ini lalu diintegrasikan dan kemudian diambil kesimpulan bahwa suku kata /ba/ yang kita dengar itu sama (atau tidak sama) dengan suku kata dari prototipe kita.

Model ini dinamakan fuzzy (kabur) karena bunyi, sukukata, atau kata yang kita dengar tidak mungkin persis 100% sama dengan prototipe kita. Orang yang sedang mengunyah sesuatu sambil mengatakan /ba(raŋ)/ pasti tidak akan menghasilkan /ba/ yang sama yang diucapkan oleh orang yang tidak sedang mengunyah apa-apa. Begitu pula orang yang sedang kena flu pasti akan menambahkan bunyi sengau pada suku ini; akan tetapi, suku kata /ba/ yang dengan bunyi sengau ini akan tetap saja kita anggap sama dengan prototipe kita.

2.5.4Model Cohort

Model untuk mengenal kata ini (Marslen-Wilson dan Welsh, 1978 dan Marslen-Wilson, 1987 dalam Gleason dan Ratner, 1998; lihat juga Dominic W. Massaro 1994) terdiri dari dua tahap. Pertama, tahap di mana informasi mengenai fonetik dan akustik bunyi-bunyi pada kata yang kita dengar itu memicu ingatan kita untuk memunculkan kata-kata lain yang mirip dengan kata tadi. Bila kita mendengar kata /prihatin/ maka semua kata yang dimulai dengan /p/ akan teraktifkan: pahala, pujaan, priyayi, prakata, dsb.

Kata-kata yang termunculkan inilah yang disebut sebagai cohort. Pada tahap kedua, terjadilah proses eliminasi secara bertahap. Waktu kita kemudian mendengar bunyi /r/ maka kata pahala dan pujaan akan tersingkirkan karena bunyi kedua pada kedua kata ini bukanlah /r/ seperti pada kata targetnya. Kata priyayi dan prakata masih menjadi calon kuat karena kedua kata ini memiliki bunyi /r/ setelah /p/. Pada proses berikutnya, hanya priyayi yang masih bertahan karena kata prakata memiliki bunyi /a/, bukan /i/, pada urutan ketiganya.

Akan tetapi, pada proses selanjutnya kata priyayi jida tersingkirkan karena pada kata targetnya bunyi yang ke-empat adalah /h/ sedangkan pada kata priyayi adalah /y/. Dengan demikian maka akhirnya hanya ada satu kata yang persis cocok dengan masukan yang diterima oleh pendengar, yakni kata prihatin.

2.5.5Model TRACE

Model ini mula-mulanya adalah model untuk persepsi huruf tetapi kemudian dikembangkan untuk mempersepsi bunyi (McClelland dan Rumelhart 1981; Elman dan McClelland 1984; 1986). Model TRACE berdasarkan pada pandangan yang koneksionis dan mengikuti proses top-down. Artinya, konteks leksikal dapat membantu secara langsung pemrosesan secara perseptual dan secara akustik. Begitu pula informasi di tataran kata dapat juga mempengaruhi pemrosesan pan tataran di bawahnya.



2.6  Persepsi Ujaran Dalam Konteks

Bunyi tidak dapat diujarkan secara terlepas dari bunyi yang lain. Bunyi selalu diujarkan secara berurutan dengan bunyi yang lain sehingga bunyi-bunyi itu membentuk semacam deretan bunyi. Lafal bunyi yang diujarkan secara berurutan dengan bunyi yang lain tidak sama dengan lafal bunyi itu bila dilafalkan secara sendiri-sendiri. Bunyi /p/ yang diujarkan sebelum bunyi /i/ (seperti pada kata pikir) akan berbeda dengan bunyi /p/ yang diujarkan sebelum bunyi /u/ (seperti pada pukat). Pada rentetan yang pertama, bunyi /p/ ini akan terpengaruh oleh bunyi /i/ sehingga ucapan untuk /p/ sedikit banyak sudah diwarnai oleh bunyi /i/, yakni kedua bibir sudah mulai melebar pada saat bunyi /p/ diucapkan. Bunyi /p/ pada /pu/ diucapkan dengan kedua bibir dibundarkan, bukan dilebarkan seperti pada /pi/.

Sebagai pendengar kita tetap saja dapat menentukan bahwa kedua bunyi /p/ yang secara fonetik berbeda, sedangkan secara fonemik sama. Persepsi terhadap suatu bunyi dalam deretan bunyi bisa pula dipengaruhi oleh kecepatan ujaran. Suatu bunyi yang diucapkan dengan bunyi-bunyi yang lain secara cepat akan sedikit banyak berubah lafalnya.

Faktor lain yang membantu kita dalam mempersepsi suatu ujaran adalah pengetahuan kita tentang sintaksis maupun semantik bahasa kita. Suatu bunyi yang terucap dengan tidak jelas dapat diterka dari wujud kalimat dimana bunyi itu terdapat. Dari sintaksisnya kita tahu bahwa urutan pronomina, kala progresif, dan adjektiva adalah urutan yang benar. Dari semantiknya terdapat kecocokan antara ketiga kata ini. Dari konteksnya ketiga kata ini memberikan makna yang layak.





















BAB III

PENUTUP



3.1 Kesimpulan

penelitian mengenai persepsi ujaran itu dapat dikatakan masih baru. Perkembangan penelitian di bidang ini mulai dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi, terutama dengan terciptanya alat telepon. Masalah dalam mempersepsi ujaran telah didapati tiap kali kita berbicara, satu menit kita telah akan mengeluarkan antara 1500-1800 bunyi.

Mekanisme ujaran terdapat bagian-bagian yang mendukung: bibir, gigi, alveolar, palatal karas (hard palate), palatal lunak (soft palate), uluva, lidah, pita suara, faring, rongga hidung, rongga mulut. Dalam persepsi terhadap ujaran dilakukan melalui tahap-tahap tertentu, diantaranya: tahap auditori, tahap fonetik, tahap fonologis.

Terdapat beberapa model persepsi ujaran, antara lain: model teori motor untuk persepsi ujaran, analisis dengan sintesis, fuzzy logical model, model cohort, model trace. Persepsi dalam konteks, bunyi di ujarkan secara berurutan dengan bunyi yang lain sehingga bunyi-bunyi itu membentuk semacam deretan bunyi.































DAFTAR PUSTAKA



Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguitik :kajian teoritik. Jakarta : PT RINEKA CIPTA

Dardjowidjowidjojo. 2014. Psikolinguistik: pengantar pemahaman bahasa manusia.  Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.


No comments:

Post a Comment