PEMBAHASAN
2.1 Penelitian
Mengenai Persepsi Ujaran
Dari segi ilmu
pengetahuan, kajian dan penelitian mengenai bagaimana manusia mempersepsi
ujaran dapat dikatakan masih sangat baru. Penelitian mengenai bagaimana kita
mempersepsi ujaran baru mulai menjelang Perang Dunia II (Gleason dan Ratner
1998).
Perkembangan
penelitian di bidang ini mulai dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi
terutama dengan terciptanya alat telepon. Pada tahun 1940-an perusahaan telepun
ini ini mengembangkan spektograf, yakni, alat untuk merekam suara dalam bentuk
garis-garis tebal-tipis dan panjang-pendek yang dinamakn spektogram. Kini
teknologi sudah dapat mengetahui siapa pembicara dalam suatu rekaman dengan
akurat.
2.2
Masalah dalam Mempersepsi Ujaran
Orang
rata-ratanya dalam menggunakan bahasa Inggris mengeluarkan 125-180 kata tiap
menit. Jumlah ini tentunya telah didasarkan pada kenyataan bahwa sebagian besar
kata dalam bahasa inggris bersuku kata satu (book, go, eat,come, dsb). Untuk
bahasa Indonesia pada umumnya bersuku kata dua atau lebih (makan, tidur,
membawa, menyelesaikan) maka jumlah kata per menit yang diujarkan oleh orang
Indonesia pastilah lebih kecil dari angka yang diujarkan oleh orang yang
menggunakan bahasa Inggris, mungkin sekitar 80–110 kata.
Bunyi yang
diujarkan jika dilihat jumlahnya, telah dipastikan bahwa untuk bahasa Inggris
rata-ratanya 25-30 segmen bunyi (fonem) tiap detik (Ratner dan Gleason 1998).
Karena bunyi dalam bahasa manapun sifatnya sama, maka dapat diduga bahwa orang
Indonesia pun mengeluarkan jumlah bunyi yang sama setiap detiknya, yakni antara
25-30 bunyi. Dengan demikian, tiap kali kita berbicara satu menit kita akan
mengeluarkan sebanyak 1500-1800 bunyi.
Masalah yang
dihadapi adalah bagaimana kita dapat menangkap dan kemudian mencerna
bunyi-bunyi yang diujarkan. Bunyi dalam suatu ujaran juga tidak diucapkan
secara utuh tetapi seperti lebur dengan bunyi yang lain. Suara seorang wanita,
seorang pria serta seorang anak juga berbeda. Getar pita suara untuk wanita
berkisar antara 200-300 perdetik, sedangkan untuk pria hanya sekitar 100.
Perbedaan inilah yang akan memunculkan bunyi-bunyi yang berbeda, meskipun kata
yang diujarkan itu sama. Seperti kata tidur
tidak akan sama bunyinya jika diucapkan oleh seorang pria, wanita, dan juga
anak.
2.3
Mekanisme Ujaran
Semua bunyi yang
dibuat dengan udara melalui hidung disebut bunyi nasal. Sementara itu, semua
bunyi yang udaranya keluar melewati mulut dinamakan bunyi oral. Pada mulut
terdapat dua bagian: bagian atas dan bagian bawah mulut. Bagian atas mulut
umumnya tidak bergerak sedangkan bagian bawah mulut bisa digerakkan.
Bagian-bagian ini adalah sebagai berikut:
•Bibir: bibir atas dan bibir bawah.
Kedua bibir ini dapat dirapatkan untuk membentuk bunyi yang dinamakan bilabial yang artinya dua bibir bertemu.
Bunyi seperti (p), (b) dan (m) adalah bunyi bilabial.
•Gigi: untuk ujaran hanya gigi
ataslah yang mempunyai peran. Gigi ini dapat berlekatan dengan bibir bawah
untuk membentuk bunyi yang dinamakan labiodental.
Contohnya adalah (f) dan (v). Gigi juga bisa berlekatan dengan ujung lidah
untuk membentuk bunyi dental seperti bunyi (t) dan (d) dalam bahasa Indonesia.
•Alveolar: daerah ini berada
dibelakang pangkal gigi atas. Ujung lidah dapat ditempelkan pada alveolar yang
menghasilkan bunyi (t) dan (d) dalam bahasa Inggris.
•Palatal keras: daerah ini ada di
rongga atas mulut, persis diblakang daerah alveolar. Pada daerah ini dapat
ditempelkan bagian depan lidah untuk membentuk bunyi yang dinamakan
alveopalatal seperti bunyi (c) dan (j).
•Palatal lunak: daerah ini ada
dibelakang rongga mulut atas. Pada daerah itu dapat dilekatkan bagian belakang
lidah untuk membentuk bunyi yang dianmakan velar seperti bunyi (k) dan (g).
•Uvula: pada ujung rahang atas
terdapat tulang lunak yang dinamakan uvula. Uvula dapat digerakkan untuk
menutup saluran ke hidung atau membukanya. Bila uvula tidak berlekatan dengan bagian atas laring
maka buni udara keluar melalui hidung. Bunyi inilah yang dinamakan bunyi nasal.
Bila uvula berlekatan dengan dinding laring maka udara disalurkan melalui mulut
dan menghasilkan bunyi oral.
•Lidah: lidah adalah bagian mulut
yang fleksibel, ia dapat digerakkan dengan lentur. Lidah memiliki
bagian-bagian, yaitu ujung lidah, mata lidah, depan lidah, dan belakang lidah.
•Pita suara: pita suara adalah
sepasang selaput yang berada di jakun. Status selaput suara ini ikut menentukan
perbedaan antara satu konsonan dengan konsonan yang lain.
•Faring: saluran udara menuju ke
rongga mulut atau rongga hidung.
•Rongga hidung: rongga untuk
bunyi-bunyi nasal seperti /m/ dan /n/.
•Rongga mulut: untuk bunyi-bunyi
oral seperti /p/, /b/, /a/, dan /i/.
2.4 Persepsi Terhadap Ujaran
Persepsi
terhadap ujaran bukanlah suatu hal yang mudah dilakukan oleh manusia karena
ujaran merupakan suatu aktivitas verbal yang meluncur tanpa ada batas waktu
yang jelas antara satu kata dengan kata yang lain. Perhatikan tiga ujaran
berikut : (a) Bukan angka, (b) Buka nangka, (c) Bukan nangka. Meskipun ketiga
ujaran ini berbeda maknanya satu dari yang lain, dalam pengucapannya ketiga
bentuk ujaran ini bisa sama
Suatu bunyi juga
tidak diucapkan secara persis sama tiap kali bunyi itu muncul. Bagaimana suatu
bunyi diucapkan dipengaruhi oleh lingkungan dimana bunyi itu berada. Bunyi (b)
pada kata buru, misalnya tidak persis
sama dengan bunyi (b) pada kata biru.
Pada kata buru bunyi /b/ dipengaruhi oleh bunyi /u/ yang mengikutinya sehingga
sedikit banyak ada unsur pembundaran bibir. Sebaliknya, bunyi yang sama ini
akan diucapkan dengan bibir yang melebar pada kata biru karena bunyi /i/
merupakan bunyi vokal depan dengan bibir melebar.
Namun demikian,
manusia tetap saja dapat mempersepsi bunyi-bunyi bahasanya dengan baik. Tentu
saja persepsi seperti ini dilakukan melalui tahap-tahap tertentu. Pada dasarnya
ada tiga tahap dalam pemrosesan persepsi bunyi (Clark & Clark, 1977).
1.Tahap auditori : manusia menerima
sepotong-sepotong ujaran dan kemudian menyimpan bunyi-bunyi ujaran itu dalam
memori auditori.
2.Tahap fonetik : mengidentifikasi
bunyi-bunyi, kemudian menyimpan bunyi-bunyi tersebut dalam memori fonetik.
3.Tahap Fonologis : pada tahap ini
mental menerapkan aturan fonologis pada deretan bunyi yang kita dengar untuk
menentukan apakah bunyi-bunyi itu telah mengikuti aturan fonotaktik dalam
bahasa kita.
2.5
Model-Model Untuk Persepsi
2.5.1 Model Teori Motor untuk
Persepsi Ujaran
Model Teori
Motor untuk Persepsi Ujaran (Motor Theory
of Speech Perseption), menyatakan bahwa manusia mempersepsi bunyi dengan
memakai acuan seperti pada saat dia memproduksi bunyi itu (Liberman dkk 1967
dalam gleason dan Ratner, 1998). Bunyi yang diucapkan dipengaruhi oleh
bunyi-bunyi lain disekitarnya. Namun, bunyi itu akan tetap merupakan fonem yang
sama, meskipun wujud fonetiknya berbeda. Persamaan ini disebabkan oleh
artikulasinya yang sama pada waktu mengucapkan bunyi tersebut. Jadi, meskipun bunyi
/b/ pada kata /buka/ dan /bisa/ tidak persis sama dalam pengucapannya, kedua
bunyi ini tetap saja dibuat dengan titik dan cara artikulasi yang sama. Dengan
demikian, seorang penutur akan menganggap kedua bunyi ini sebagai dua kata
alofon dari satu fonem yang sama, yakni fonem /b/. Dengan kata lain, meskipun
kedua bunyi itu secara fonetik berbeda, kedua bunyi ini akan dipersepsi sebagai
satu bunyi yang sama.
Penentuan suatu
bunyi itu bunyi apa didasarkan pada persepsi si pendengar yang seolah-olah
membayangkan bagaimana bunyi itu dibuat, seandainya dia sendiri yang
mengujarkannya.
2.5.2Model Analisis dengan Sintesis
Manusia
bervariasi dalam ujaran mereka, tergantung pada berbagai faktor seperti keadaan
kesehatan, keadaan sesaat (gembira atau sedih), dan keadaan alat ujar (sedang
merokok atau tidak). Dengan demikian, kalau kita hanya menggantungkan pada
fitur akustiknya saja, maka sebuah kata bisa saja memiliki banyak bentuk yang
berbeda-beda. Karena itu, diajukanlah suatu model yang dinamakan Model Analisis
dengan Sintesis (Analiysis-by-Synthesis).
Dalam model ini
dinyatakan bahwa pendengar mempunyai sistem produksi yang dapat mensintesiskan
bunyi sesuai dengan mekanisme yang ada padanya (Stevens 1960, Stevens dan Halle
1967, dalam Gleanson dan Retner 1998). Waktu dia mendengar suatu deretan bunyi,
dia mula-mula mengadakan analisis terhadap bunyi-bunyi itu dari segi fitur
distingtif yang ada pada masing-masing bunyi itu. hasil dari analisis ini
dipakai untuk memunculkan atau mensintesiskan suatu ujaran yang kemudian
dibandingkan dengan ujaran yang baru dipersepsi. Bila antara ujaran yang
dipersepsi dengan ujaran yang disintesiskan itu cocok maka terbentuklah
persepsi yang benar. Bila tidak, maka dicarilah lebih lanjut ujaran-ujaran lain
untuk akhirnya ditemukan ujaran yang cocok.
Sebagai contoh,
bila penutur bahasa Indonesia mendengar deretan bunyi /pola/ mala mula-mula
dianalisislah ujaran itu dari segi fitur distingtifnya – dimulai dengan /p/
yang difitur [+konsonantal], [-kontinuan], [+tak-vois], dsb. Proses ini
berlanjut untuk bunyi /o/, dan seterusnya. Setelah semuanya selesai,
disintesislah ujaran itu untuk memunculkan bentuk-bentuk yang mirip dengan itu
seperti kata /mula/, kemudian /pula/, lalu /kola, /bola/ ... sampai akhirnya
ditemukan deretan yang persis sama, yakni /pola/. Baru pada saat itulah deretan
dipersepsi dengan benar.
2.5.3Fuzzy Logical Model
Menurut model
ini (Massaro, 1987, 1989) persepsi ujaran terdiri dari tiga proses: evaluasi
fitur, integrasi fitur, dan kesimpulan. Dalam model ini ada bentuk prototipe,
yakni bentuk yang memiliki semua nilai ideal yang ada pada suatu kata, termasuk
fitur-fitur distingtifnya. Informasi dari semua fitur yang masuk dievaluasi,
diintegrasi dan kemudian dicocokkan dengan deskripsi dari prototipe yang ada
pada memori kita. Setelah dicocokkan lalu diambil kesimpulan apakah masukan
tadi cocok dengan yang terdapat pada prototipe.
Sebagai misal,
bila kita mendengar suku yang berbunyi /ba/ maka kita mengaitkannya dengan suku
kata ideal untuk suku ini, yakni semua fitur yang ada pada konsonan /b/ maupun
vokal /a/. Evaluasi fitur menilai derajat kesamaan masing-masing fitur dari
prototipe kita. Evaluasi ini lalu diintegrasikan dan kemudian diambil
kesimpulan bahwa suku kata /ba/ yang kita dengar itu sama (atau tidak sama)
dengan suku kata dari prototipe kita.
Model ini
dinamakan fuzzy (kabur) karena bunyi, sukukata, atau kata yang kita dengar
tidak mungkin persis 100% sama dengan prototipe kita. Orang yang sedang
mengunyah sesuatu sambil mengatakan /ba(raŋ)/ pasti tidak akan menghasilkan
/ba/ yang sama yang diucapkan oleh orang yang tidak sedang mengunyah apa-apa.
Begitu pula orang yang sedang kena flu pasti akan menambahkan bunyi sengau pada
suku ini; akan tetapi, suku kata /ba/ yang dengan bunyi sengau ini akan tetap saja
kita anggap sama dengan prototipe kita.
2.5.4Model Cohort
Model untuk
mengenal kata ini (Marslen-Wilson dan Welsh, 1978 dan Marslen-Wilson, 1987
dalam Gleason dan Ratner, 1998; lihat juga Dominic W. Massaro 1994) terdiri
dari dua tahap. Pertama, tahap di mana informasi mengenai fonetik dan akustik
bunyi-bunyi pada kata yang kita dengar itu memicu ingatan kita untuk
memunculkan kata-kata lain yang mirip dengan kata tadi. Bila kita mendengar
kata /prihatin/ maka semua kata yang dimulai dengan /p/ akan teraktifkan:
pahala, pujaan, priyayi, prakata, dsb.
Kata-kata yang
termunculkan inilah yang disebut sebagai cohort. Pada tahap kedua, terjadilah
proses eliminasi secara bertahap. Waktu kita kemudian mendengar bunyi /r/ maka
kata pahala dan pujaan akan tersingkirkan karena bunyi kedua pada kedua kata
ini bukanlah /r/ seperti pada kata targetnya. Kata priyayi dan prakata masih
menjadi calon kuat karena kedua kata ini memiliki bunyi /r/ setelah /p/. Pada
proses berikutnya, hanya priyayi yang masih bertahan karena kata prakata
memiliki bunyi /a/, bukan /i/, pada urutan ketiganya.
Akan tetapi,
pada proses selanjutnya kata priyayi jida tersingkirkan karena pada kata
targetnya bunyi yang ke-empat adalah /h/ sedangkan pada kata priyayi adalah
/y/. Dengan demikian maka akhirnya hanya ada satu kata yang persis cocok dengan
masukan yang diterima oleh pendengar, yakni kata prihatin.
2.5.5Model TRACE
Model ini
mula-mulanya adalah model untuk persepsi huruf tetapi kemudian dikembangkan
untuk mempersepsi bunyi (McClelland dan Rumelhart 1981; Elman dan McClelland
1984; 1986). Model TRACE berdasarkan pada pandangan yang koneksionis dan
mengikuti proses top-down. Artinya, konteks leksikal dapat membantu secara
langsung pemrosesan secara perseptual dan secara akustik. Begitu pula informasi
di tataran kata dapat juga mempengaruhi pemrosesan pan tataran di bawahnya.
2.6
Persepsi Ujaran Dalam Konteks
Bunyi tidak
dapat diujarkan secara terlepas dari bunyi yang lain. Bunyi selalu diujarkan
secara berurutan dengan bunyi yang lain sehingga bunyi-bunyi itu membentuk
semacam deretan bunyi. Lafal bunyi yang diujarkan secara berurutan dengan bunyi
yang lain tidak sama dengan lafal bunyi itu bila dilafalkan secara
sendiri-sendiri. Bunyi /p/ yang diujarkan sebelum bunyi /i/ (seperti pada kata
pikir) akan berbeda dengan bunyi /p/ yang diujarkan sebelum bunyi /u/ (seperti
pada pukat). Pada rentetan yang pertama, bunyi /p/ ini akan terpengaruh oleh
bunyi /i/ sehingga ucapan untuk /p/ sedikit banyak sudah diwarnai oleh bunyi
/i/, yakni kedua bibir sudah mulai melebar pada saat bunyi /p/ diucapkan. Bunyi
/p/ pada /pu/ diucapkan dengan kedua bibir dibundarkan, bukan dilebarkan
seperti pada /pi/.
Sebagai
pendengar kita tetap saja dapat menentukan bahwa kedua bunyi /p/ yang secara
fonetik berbeda, sedangkan secara fonemik sama. Persepsi terhadap suatu bunyi
dalam deretan bunyi bisa pula dipengaruhi oleh kecepatan ujaran. Suatu bunyi
yang diucapkan dengan bunyi-bunyi yang lain secara cepat akan sedikit banyak
berubah lafalnya.
Faktor lain yang
membantu kita dalam mempersepsi suatu ujaran adalah pengetahuan kita tentang
sintaksis maupun semantik bahasa kita. Suatu bunyi yang terucap dengan tidak
jelas dapat diterka dari wujud kalimat dimana bunyi itu terdapat. Dari
sintaksisnya kita tahu bahwa urutan pronomina, kala progresif, dan adjektiva
adalah urutan yang benar. Dari semantiknya terdapat kecocokan antara ketiga
kata ini. Dari konteksnya ketiga kata ini memberikan makna yang layak.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
penelitian
mengenai persepsi ujaran itu dapat dikatakan masih baru. Perkembangan
penelitian di bidang ini mulai dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi,
terutama dengan terciptanya alat telepon. Masalah dalam mempersepsi ujaran
telah didapati tiap kali kita berbicara, satu menit kita telah akan
mengeluarkan antara 1500-1800 bunyi.
Mekanisme ujaran
terdapat bagian-bagian yang mendukung: bibir, gigi, alveolar, palatal karas
(hard palate), palatal lunak (soft palate), uluva, lidah, pita suara, faring,
rongga hidung, rongga mulut. Dalam persepsi terhadap ujaran dilakukan melalui
tahap-tahap tertentu, diantaranya: tahap auditori, tahap fonetik, tahap
fonologis.
Terdapat
beberapa model persepsi ujaran, antara lain: model teori motor untuk persepsi
ujaran, analisis dengan sintesis, fuzzy logical model, model cohort, model
trace. Persepsi dalam konteks, bunyi di ujarkan secara berurutan dengan bunyi
yang lain sehingga bunyi-bunyi itu membentuk semacam deretan bunyi.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguitik :kajian teoritik. Jakarta : PT RINEKA
CIPTA
Dardjowidjowidjojo. 2014. Psikolinguistik: pengantar pemahaman bahasa manusia. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
No comments:
Post a Comment